JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi digital dan akses informasi yang semakin luas memengaruhi cara produksi barang dan jasa. Setiap orang dimungkinkan melakukan produksi tanpa harus ada pemberi kerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan hal tersebut akhir pekan di Jakarta. Fenomena itu sekarang menghasilkan model cara bekerja yang lebih efisien dan cepat. Ada pula tren pekerja lepas atau freelance.
”Selain masalah teknologi dan keterbukaan informasi, faktor lainnya adalah masalah aktualisasi diri pekerja yang cenderung mau bebas, tidak mau terikat lagi oleh rutinitas waktu bekerja,” ujarnya.
Timboel berpandangan, menjadi pekerja lepas sudah menjadi pilihan saat ini. Bagi karyawan tetap yang memilih melakoni pekerja lepas secara bersamaan, dia menyebutnya sebagai upaya mencari penghasilan tambahan.
Dia menjelaskan, tenaga kerja informal merupakan pekerja yang bekerja tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha itu tidak dikenai pajak. Defisi lainnya adalah pekerja yang berusaha sendiri tanpa memiliki majikan sehingga dia tidak memiliki hubungan kerja.
Menurut Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satu unsur hubungan kerja adalah upah.
”Semakin canggihnya teknologi, maka hubungan kerja mengarah menjadi fleksibel dan terbuka. Ini bisa langsung disebut menjadi informal setiap saat yang bisa dilakukan oleh setiap pekerja,” kata Timboel.
Dia menekankan, kehadiran pekerja lepas bukan akibat dari buruknya ekonomi, melainkan lebih pada kemajuan teknologi dan informasi.
”Kesejahteraan pekerja informal, tentunya termasuk mereka yang sepenuhnya menjadi pekerja lepas, menjadi isu. Bagaimana mereka bisa mengakses jaminan sosial?” imbuh Timboel.
Pada awal pekan ini, PayPal (perusahaan sistem pembayaran elektronik) merilis laporan PayPal Global Freelancer Survey. Survei berlangsung secara daring dan diikuti oleh 11.324 pekerja lepas dan individu yang sedang mempertimbangkan menjadi pekerja lepas di 22 negara.
Sebanyak 1.602 peserta survei di antaranya berasal dari Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Filipina. Mayoritas peserta menggunakan platform digital, mulai dari keperluan penawaran jasa hingga pembayaran.
Managing Director PayPal Asia Tenggara sekaligus Head of Merchant Support PayPal Asia Pasifik Rahul Shinghal, dalam surat elektronik, mengemukakan, mayoritas pekerja lepas di empat negara Asia Tenggara mengalami masalah tidak pernah dibayar atas jasa mereka. Ini disebabkan oleh masih ada pengguna jasa yang berpandangan kurang positif terhadap pekerja lepas.
Rahul menjelaskan, delapan dari 10 pekerja lepas di Indonesia masih berusia di bawah 40 tahun. Mereka sudah berprofesi sebagai pekerja lepas lebih dari tiga tahun dengan pendapatan setahun 14.400 dollar AS.
”Pekerja lepas di Indonesia bekerja juga sebagai karyawan tetap di kantoran. Ini tentu untuk menambah pemasukan,” kata Rahul.
Di Indonesia, pekerja lepas biasa menerima jasa peneliti, ilustrator, penerjemah, programmer, desain laman, dan copy writer.
Di negara Asia Tenggara lainnya, seperti Filipina, sekitar 46 persen pekerja lepas malah berusia di bawah 30 tahun. Mayoritas telah melakoni pekerja lepas lebih dari dua tahun. Jenis jasa yang mereka tawarkan sama, seperti dialami pekerja lepas Indonesia. Alasan utama mereka ingin menjadi pekerja lepas adalah bisa bekerja dari mana saja dan waktunya lebih fleksibel.