JAKARTA, KOMPAS — Isu pengangguran menjadi kekhawatiran utama pada era digital dan Revolusi Industri 4.0. Namun, ancaman pengangguran itu dapat diatasi dengan investasi pelatihan kepada karyawan, mendorong kebiasaan perusahaan yang dapat mendongkrak inovasi, serta penerapan sikap dalam diri tenaga kerja.
Laporan berjudul The Future of Jobs yang dipublikasikan oleh Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum pada 2016 memprediksi 5,1 juta-7 juta orang akan kehilangan pekerjaan sepanjang 2015-2020. Berkurangnya tenaga kerja itu diakibatkan oleh adanya digitalisasi dan otomasi mesin pada Revolusi Industri 4.0.
Revolusi Industri 4.0 memiliki esensi menyatukan aset fisik, digital, dan teknologi ke dalam suatu ekosistem. Ada tiga ekosistem utama, yaitu data raksasa (big data), komputasi awan (cloud computing), dan internet pada segala hal (internet of things) (Kompas, 6/3).
Akan tetapi, ancaman berkurangnya angka tenaga kerja itu dapat dihindari. Laporan The Future of Jobs menyatakan, 65 persen responden bersedia berinvestasi untuk memperbarui kemampuan pekerja di perusahaannya.
Responden terdiri atas pemimpin pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berasal dari 371 perusahaan dan tersebar di lebih dari 15 negara, termasuk Indonesia.
SDM atau tenaga kerja dalam perusahaan ditinjau dari segi kemampuan, jaringan, pengalaman, pengetahuan, dan perilaku.
”Perusahaan dapat memberikan pelatihan bagi tenaga kerja untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam rangka menghadapi Revolusi Industri 4.0,” kata pakar manajemen sumber daya manusia dari Swiss German University, Rachman Sjarief, saat ditemui setelah diskusi bertajuk ”Revolusi Industri 4.0” di Jakarta, Sabtu (10/3).
Adapun bidang pelatihan dari perusahaan dapat berupa teknologi informasi dan komunikasi (TIK), mesin dan elektronik, serta kewirausahaan. Dalam TIK, perusahaan dapat melatih tenaga kerja tentang kemampuan pemrograman.
Di bidang mesin dan elektronik, perusahaan dapat melatih cara menangani sistem kendali atau sistem sensor. Sementara di bidang kewirausahaan, perusahaan dapat melatih cara mengelola keuangan dan menyusun administrasi.
Sambil memberikan pelatihan, kebiasaan perusahaan yang mendukung inovasi dari tenaga kerja juga dibutuhkan. Revolusi Industri 4.0 sarat dengan inovasi di bidang teknologi dan cara berbisnis. Misalnya, pemimpin mengadakan diskusi dengan timnya dan menanyakan ide atau gagasan yang dimiliki anggota untuk dibahas.
Setelah bertukar pikiran, ide itu dilaksanakan dengan memberikan kepercayaan pada tim dalam bimbingan pimpinan. ”Jika berhasil, jangan lupa apresiasi tim di depan pemimpin dan karyawan lain dalam perusahaan,” ujar Rachman.
Untuk menunjang ide dan gagasan kreatif menjadi inovasi perusahaan, diperlukan struktur organisasi yang mempersingkat alur pengambilan keputusan. Menurut Rachman, struktur pengambil keputusan dalam perusahaan idealnya memiliki tiga atau empat tingkat yang terdiri dari pemimpin utama, pemimpin bidang, pemimpin divisi, dan tim. Pemimpin divisi bersifat pilihan.
Faktor perilaku
Pelatihan, struktur organisasi, budaya kerja, dan keteladanan tergolong dalam faktor ekstrinsik. ”Faktor intrinsik tenaga kerja, terutama perilaku, juga berperan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Sikap adaptatif, jujur, dan disiplin dibutuhkan,” ucap Rachman.
Tenaga kerja memerlukan kemampuan beradaptasi agar dapat menghadapi perubahan-perubahan dalam Revolusi Industri 4.0 yang bersifat cepat. Modal sikap ini ialah pemikiran yang terbuka.
Kedisiplinan dibutuhkan karena Revolusi Industri 4.0 meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas. Kualitas dan kuantitas pekerjaan dapat berpotensi berkurang akibat keterlambatan. ”Kita tidak punya hak untuk membuat orang lain menunggu, apalagi dalam pekerjaan. Tepat waktu itu penting,” kata Rachman.
Dalam Revolusi Industri 4.0, membangun kepercayaan, baik antara karyawan dan pemimpin perusahaan maupun antarperusahaan yang bermitra, merupakan aspek yang penting. Oleh sebab itu, kejujuran, keterbukaan, dan transparansi menjadi modal yang perlu dimiliki setiap individu tenaga kerja.
Tenaga kerja asing
Pemerintah berkomitmen mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA). Presiden Joko Widodo meminta penyederhanaan izin bagi mereka (Kompas, 7/3).
Menurut Rachman, langkah ini dapat menjadi momentum perbaikan kualitas tenaga kerja dalam negeri agar dapat bersaing dengan TKA di era Revolusi Industri 4.0. ”Kebijakan ini cukup adil karena tenaga kerja Indonesia juga berpeluang bekerja di luar negeri. Namun, TKA yang dipermudah izinnya sebaiknya yang bertaraf ahli,” katanya.
Intensi pemerintah ini sejalan dengan konsep keterbukaan negara yang dikatakan oleh Manfred Kiesel, pengajar ilmu manajemen University of Applied Sciences Würzburg-Schweinfurt, Jerman. Dia menjadi pembicara bersama Rachman dalam diskusi itu.
Manfred berpendapat, Revolusi Industri 4.0 berpeluang menghubungkan setiap perusahaan secara global dan dapat menjadi kesempatan untuk mempromosikan produk lokal di kancah dunia.
”Langkah pertama ialah negara harus membuka batasnya dan terbuka secara internasional. Namun, pastikan negara dapat mengendalikan asetnya sendiri,” katanya. (DD09)