JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan PT Freeport Indonesia berupaya menuntaskan divestasi saham Freeport pada April 2018. Divestasi 51 persen saham Freeport merupakan bagian dari negosiasi antara pemerintah dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
Namun, sejauh ini, belum ada kejelasan mengenai tahapan divestasi saham tersebut.
Kewajiban melepas sebagian saham sedikitnya 51 persen kepada Pemerintah Indonesia atau swasta nasional itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 sebagai perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
”Negosiasi, terutama yang menyangkut divestasi, terus berlangsung. Negosiasi ini menentukan bagaimana harga dan proses detail selanjutnya. Kami berharap bisa selesai April tahun ini,” ujar Executive Vice President PT Freeport Indonesia Tony Wenas dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Rabu (7/3), di Jakarta.
Dalam paparannya, Tony menyatakan, Rio Tinto (perusahaan tambang yang berkantor di Australia) memiliki saham partisipasi 40 persen pada operasi Freeport di Grasberg, Papua. Rio Tinto akan keluar dari kemitraan dan menjual saham partisipasi tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono, yang turut hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut, mengatakan, saham partisipasi Rio Tinto hendak dibeli PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum yang merupakan perusahaan induk pertambangan. Selanjutnya, hal itu akan dikonversi menjadi saham pada PT Freeport Indonesia.
”Kan, sudah ada kepemilikan sebesar 9,36 persen (Inalum). Sisanya nanti akan dibeli dari Indocopper Investama (9,36 persen),” kata Bambang.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, penuntasan divestasi PT Freeport Indonesia pada April mendatang adalah arahan Presiden Joko Widodo. Divestasi saham hingga 51 persen akan dibeli dengan harga yang wajar.
”Memang ada pertanyaan, kenapa kita tidak menunggu saja sampai 2021 (saat kontrak Freeport berakhir)? Pertanyaan itu wajar adanya. Kalau kita mengambil alih, maka harus membayar ongkos ganti investasi yang sudah dikeluarkan Freeport, seperti peralatan tambang,” ujar Jonan.
Pada 2015, Freeport pernah menawarkan 10,64 persen saham kepada Pemerintah Indonesia senilai 1,7 miliar dollar AS (setara Rp 22,6 triliun dengan nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS). Saat itu, Freeport memasukkan cadangan mineral dengan asumsi masa operasi diperpanjang sampai dengan 2041. Menurut Pemerintah RI saat itu, nilai saham 10,64 persen tersebut setara dengan 600 juta dollar AS.
Selain soal divestasi, negosiasi membahas soal perpanjangan operasi, kewajiban membangun smelter, dan perpajakan. (APO)