JAKARTA, KOMPAS — Alokasi penggunaan dana hasil pungutan ekspor kelapa sawit untuk insentif biodiesel dipatok 70 persen tahun ini. Persentase alokasi ini turun dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 90 persen dari total dana pungutan.
Namun, realisasi penyalurannya ditargetkan 3 juta kiloliter-3,5 juta kiloliter, meningkat dari tahun lalu yang sebanyak 2,37 juta kiloliter.
Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo di Jakarta, Selasa (6/3), mengatakan, alokasi penggunaan dana itu berdasarkan persetujuan DPR dan kebijakan Komite Pengarah. Komite itu terdiri dari Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Keuangan, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
BPDPKS memperkirakan dapat memungut dana hingga Rp 13 triliun dari ekspor komoditas kelapa sawit dan turunannya tahun ini. Angka itu lebih tinggi dari target yang dipatok Rp 10,9 triliun. Optimisme itu antara lain berdasarkan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 14,2 triliun.
Insentif biodiesel diberikan kepada perusahaan produsen biodiesel. Menurut Edi, insentif masih diperlukan untuk menutup selisih antara harga biodiesel dengan harga bahan bakar jenis solar. Tanpa insentif, produsen sulit memproduksi biodiesel.
Hal ini akan berdampak pada kebijakan energi nasional yang menargetkan peningkatan porsi pemakaian energi baru terbarukan.
Sejak dimulai pada 2015, penyaluran biodiesel dengan skema insentif dana dari BPDPKS meningkat dari 0,43 juta kiloliter pada 2015, menjadi 2,77 juta kiloliter pada 2016, lalu 2,37 juta kiloliter pada 2017. Sebelumnya, subsidi menggunakan dana APBN yang pada 2014 mencapai 1,84 juta kiloliter.
Dengan skema itu, pemerintah dinilai menghemat Rp 21,4 triliun uang negara atau APBN. Sebab, insentif berasal dari perusahaan eksportir kelapa sawit dan produk turunannya. Skema insentif dari dana BPDPKS juga dianggap menghemat devisa Rp 14,8 triliun per tahun karena mengurangi volume impor hingga 3 juta kiloliter solar.
Peremajaan
Skema insentif juga diklaim menumbuhkan industri biodiesel dalam negeri. Pada 2015, tercatat 10 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) Jenis Biodiesel. Tahun ini menjadi 20 BU BBN. Kapasitas produksi terpasang pun meningkat dari 5,79 juta kiloliter pada 2015 menjadi 11,73 juta kiloliter pada 2018.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pihaknya berupaya meningkatkan pemakaian biodiesel di dalam negeri antara lain melalui uji coba campuran 20 persen biodiesel (B20) pada kereta api. Dengan demikian, penyaluran insentif biodiesel meningkat tahun ini.
Tahun lalu, 92 persen dari 2,5 juta kiloliter biodiesel tersalur ke sektor pelayanan publik (PSO). Penyerapan biodiesel di sektor non-PSO belum optimal karena selisih harga yang relatif besar. Pada Januari 2018, misalnya, harga biodiesel Rp 7.962 per liter dan solar Rp 5.981 per liter.
Pada saat porsi insentif biodiesel dikurangi, pemerintah menaikkan porsi dana BPDPKS untuk peremajaan kelapa sawit tahun ini. Alokasi untuk peremajaan yang sebelumnya tak pernah lebih dari 5 persen, kini dinaikkan jadi 22 persen. Dengan peningkatan itu, peremajaan tanaman sawit rakyat ditargetkan meningkat jadi 185.000 hektar, naik dari 200 hektar pada 2016 dan 4.446 hektar pada 2017.
Saat ini, sekitar 2,7 juta hektar dari total 4,8 juta hektar kebun rakyat sudah tidak produktif lagi, umumnya karena usia tua.(MKN)