Sebagian Besar Usaha Ekonomi Kreatif Tidak Berbadan Usaha
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meski disebut-sebut mampu berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, industri kreatif masih menyimpan sejumlah masalah mulai dari produksi hingga pemasaran.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, di sela-sela peluncuran Buku Statistik Ekonomi Kreatif, Selasa (27/2), di Jakarta, mengemukakan pandangan tersebut. Buku Statistik Ekonomi Kreatif menyajikan angka statistik ekonomi kreatif dari tahun 2010 - 2016. Survei dilakukan oleh BPS. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) turut mendukung.
Dari sisi produksi, misalnya, data BPS menyebutkan jumlah usaha ekonomi kreatif mencapai sekitar 8,2 juta pada tahun 2016. Adapun jumlah tenaga kerjanya sebanyak 16,91 juta orang. Berdasarkan data ini, Suhariyanto memperkirakan, rata-rata satu usaha ekonomi kreatif memiliki satu hingga dua orang pekerja.
Sekitar 96,61 persen dari total usaha ekonomi kreatif tahun 2016 tidak berbadan usaha. Hanya satu persen yang sudah berstatus perusahaan perseroan terbatas.
Suhariyanto mengemukakan, industri kreatif Indonesia juga masih terpusat di Jawa. Setidaknya hal itu terlihat selama kurun waktu 2014-2016. Porsi produk domestik bruto regional ekonomi kreatif lima provinsi - Jawa Timur, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Sumatera Utara - selalu berkisar 48,04 persen. Sekitar 51,96 persen sisanya berasal dari 29 provinsi lainnya.
Dari sisi pemasaran, seperti ekspor. Dia menyebutkan, ekspor produk ekonomi kreatif Indonesia berkutat ke lima negara, yakni Amerika Serikat (6 miliar dollar AS), Singapura (1,23 miliar dollar AS), Jepang (1,36 miliar dollar AS), Swiss (2,09 miliar dollar AS), dan Jerman (886,1 juta dollar AS).
"Sambil memperbaiki produksi, pemerintah Indonesia bisa membantu pengusaha ekonomi kreatif mencari pasar baru di luar lima negara itu," kata Suhariyanto.
Buku Statistik Ekonomi Kreatif menyebutkan tiga subsektor andalan masih dari kuliner, fesyen, dan kriya. Sebagai contoh tahun 2016. Pendapatan subsektor kuliner mencapai Rp 382 triliun, fesyen Rp 166 triliun, dan kriya Rp 142 triliun.
Sementara subsektor ekonomi kreatif dengan pertumbuhan tertinggi tahun 2016 adalah televisi dan radio; film, animasi, dan video; seni pertunjukkan; desain komunikasi visual; serta aplikasi dan gim. Rata-rata pertumbuhan subsektor-subsektor tersebut di atas delapan persen.
"Pemerintah seharusnya menggali potensi ekonomi kreatif di masing-masing daerah. Kemudian, pemerintah mulai memperbaiki dari hal-hal mendasar yang dibutuhkan pelaku usaha. Dengan begitu, ketimpangan kemajuan industri bisa teratasi," imbuh dia.
Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Abdur Rohim Boy Berawi yang hadir pada saat bersamaan, menyebut bahwa Bekraf mempunyai 37 program unggulan selama tahun 2017. Program tersebut bertujuan memperbaiki ekosistem industri kreatif.
Untuk urusan pengarsipan dan pendataan hasil industri rekaman, contohnya. Selama tahun 2016, Bekraf membantu mengarsipkan dan mendigitalkan 300 piringan hitam koleksi RRI Bandung. Piringan hitam tersebut dirilis 1960-1980.
Pada tanggal 20 Januari 2018, Bekraf menghadirkan 200 pelaku usaha ekonomi kreatif untuk mengetahui perbankan syariah dan peluang mengakses pembiayaannya untuk mengembangkan usaha pada acara Sharia Banking for Creative Business Matching di Gorontalo. Kegiatan ini bertujuan untuk membuka akses keuangan kepada pelaku lokal.