JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan menginisiasi penggunaan kartu kredit pemerintah untuk pembayaran belanja operasional dan perjalanan dinas kementerian dan lembaga negara. Sebagai proyek percontohan, sekitar 500 kartu kredit dibagikan kepada empat instansi.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjo Wiryono, di Jakarta, Rabu (21/2), mengatakan, penggunaan kartu kredit pemerintah itu untuk meminimalkan penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara sekaligus meningkatkan keamanan transaksi. Model ini juga diharapkan mengurangi potensi penyalahgunaan transaksi nontunai dan mengurangi biaya dana dari penggunaan uang persediaan.
”Untuk proyek percontohan ini, ada empat instansi yang menerapkannya. Untuk kementerian dan lembaga yang lain, sangat bergantung pada kesiapan setiap instansi itu. Namun, kami selalu siap mendorong percepatan kementerian dan lembaga untuk menerapkan kartu kredit ini,” kata Marwanto.
Keempat instansi tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekretariat Negara, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Kementerian Keuangan. Adapun kartu kredit itu diterbitkan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Kartu kredit diberikan kepada pejabat yang melakukan pengadaan atau pembelian barang operasional dan pegawai yang melakukan perjalanan dinas. Batas maksimal transaksi kartu kredit Rp 50 juta-Rp 200 juta.
Pemegang kartu kredit hanya menggunakan kartu itu untuk pengeluaran yang diperkenankan dan dapat dibebankan ke APBN, yakni untuk keperluan perjalanan dinas dan belanja operasional kementerian dan lembaga negara. Keperluan perjalanan dinas, misalnya pembelian tiket dan hotel. Keperluan belanja operasional, misalnya pembelian perlengkapan kantor, konsumsi rapat, pemeliharaan dan bahan bakar mobil dinas, serta keperluan sehari-hari perkantoran lainnya.
Tanggung jawab
Nilai belanja, tambah Marwanto, tidak boleh lebih dari Rp 50 juta per transaksi. Pemegang bertanggung jawab atas penggunaan di luar ketentuan.
Pembelian atau pembayaran dengan kartu kredit akan ditagih dalam 14 hari. Setelah tagihan, ada waktu jatuh tempo sekitar 14 hari. Jika tagihan dilunasi sebelum jatuh tempo, tidak dikenakan bunga.
Oleh karena itu, setelah menggunakan kartu kredit, pegawai pemegang kartu kredit harus mengajukan pelunasan kepada bendahara satuan kerja. Kemudian bendahara satuan kerja akan menguji atau memverifikasi, lalu mengajukan permintaan pembayaran kepada Kementerian Keuangan atau Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara untuk mentransfer pelunasan tagihan ke bank penerbit kartu kredit.
”Melalui penggunaan kartu kredit tersebut, uang negara tidak keluar sebagai uang muka. Namun, uang negara dikeluarkan pada saat tagihan kartu kredit. Sementara barang atau jasa sudah diterima,” kata Marwanto.
Secara terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat, penggunaan kartu kredit untuk pembayaran biaya perjalanan dinas dan kegiatan operasional lazim diterapkan perusahaan-perusahaan swasta. Sebab, praktiknya lebih efisien dan transaksinya terekam.
”Kalau sekarang pemerintah mulai menerapkannya, ini adalah langkah positif. Dari sisi tata kelola akan terkendali sebab langsung terekam dan mengurangi penggunaan uang tunai. Tantangannya, untuk kegiatan operasional atau perjalanan dinas di daerah-daerah yang belum tersedia infrastruktur kartu kredit,” kata Eko.
Penggunaan anggaran perjalanan dinas di kementerian dan lembaga negara selama ini masih banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Demikian pula dengan belanja operasional. Hal ini menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil audit setiap tahun.
BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2016, misalnya, menemukan pembayaran perjalanan dinas di Kementerian Dalam Negeri melebihi standar. Bersama dengan pengeluaran belanja yang belum dipertanggungjawabkan dan tidak didukung bukti yang sah, kekurangan volume pekerjaan, serta pembayaran honorarium yang melebihi standar, negara dirugikan Rp 10,56 miliar.
Di Kementerian Komunikasi dan Informatika, BPK menemukan pemahalan harga, ketidakvalidan uang harian dan pertanggungjawaban tiket perjalanan dinas luar negeri, serta ketidakefektifan penggunaan anggaran atas pembelian peralatan yang tidak dipergunakan. (LAS)