Pekan lalu PT Astra International Tbk mengumumkan berinvestasi di Go-Jek. Mereka menggelontorkan dana sekitar Rp 2 triliun pada perusahaan rintisan berbasis teknologi itu. Langkah Astra ini sangat boleh jadi merupakan upaya perusahaan mapan itu membangun relevansi di tengah arus digital. Banyak perusahaan mapan dan sukses pada masa lalu sulit menemukan relevansi pada saat ini. Mereka bingung menentukan arah di tengah tsunami digital yang setiap waktu menggerus model bisnis lama.
Perubahan demi perubahan terjadi karena penggunaan teknologi digital yang telah menghasilkan berbagai model bisnis. Intinya, mereka menumbangkan model bisnis lama dan memasuki model bisnis yang sangat baru. Perusahaan-perusahaan mapan sulit bersaing dengan usaha-usaha rintisan yang bermunculan belakangan. Tidak sedikit perusahaan mapan tumbang karena model bisnisnya tidak lagi relevan dengan zaman.
Sebagai contoh, saat ini sedang berkembang usaha rintisan berbasis teknologi finansial (tekfin). Model bisnis tekfin sangat berbeda dengan model bisnis perbankan konvensional. Untuk urusan pinjam-meminjam, konsumen bisa langsung mendaftar dan melakukan investasi tanpa perlu mendatangi suatu kantor. Sistem tekfin yang berbasis kecerdasan buatan mampu memprofilkan konsumen. Proses meminjam juga makin mudah dan tidak birokratis dibandingkan dengan bank konvensional. Otomatis tekfin pun menjadi ancaman bagi perbankan konvensional.
Ada beberapa langkah yang dilakukan perusahaan mapan agar relevan dengan perubahan model bisnis. Ada perusahaan yang membuat usaha rintisan digital di bidang yang sama. Ada perusahaan yang berinvestasi di usaha rintisan digital. Ada pula perusahaan yang membangun pembiayaan ventura dan melakukan investasi di sejumlah usaha rintisan digital. Secara umum patokannya adalah ketika pendapatan perusahaan mapan stagnan atau mulai turun, saat itu merupakan titik kritis dan harus segera dilakukan perubahan model bisnis.
Berdasarkan survei McKinsey & Co sebenarnya didapatkan data yang menggembirakan mengenai respons eksekutif terhadap tsunami digital. Sebanyak 90 persen eksekutif terindikasi ”bergaul” dengan bentuk-bentuk digitalisasi, 16 persen membuat strategi yang berani dalam perusahaan yang dipimpinnya, dan 30 persen berfokus mencari cara baru dalam berbisnis.
Alasan perusahaan untuk segera masuk ke bisnis berbasis digital adalah sekitar 35 persen pendapatan korporasi di dunia sudah menggunakan basis digital. Angka ini memberi gambaran betapa model bisnis lama harus berubah dan investasi di industri digital memang telah menjadi sebuah keharusan.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan, seperti disebutkan dalam buku Dual Transformation: How to Reposition Today’s Business While Creating the Future adalah eksekutif perusahaan segera menyadari ada masalah dan kemudian membuat respons dengan melakukan reposisi bisnis perusahaan di satu sisi. Namun, secara simultan mereka membuat dan memimpin sebuah tim baru menghadapi fenomena tsunami digital. Penulis buku ini mengatakan, saran itu mudah diucapkan, tetapi kenyataannya sulit. Seorang eksekutif tetap mengelola bisnis konvensional, tetapi harus memiliki pandangan ke depan.
Ketika perusahaan mapan pada posisi seperti ini, mereka pun mengalami kebingungan, bagaimana dengan keputusan investasi mereka? Seberapa besar mereka tetap berinvestasi di bisnis lama mereka? Seberapa besar mereka berinvestasi di bisnis baru? Sialnya di bisnis masa depan, tidak ada data yang komplet dan menunjang untuk melakukan perkiraan. Di sinilah penulis buku itu kemudian mengemukakan pentingnya kepemimpinan. Pemimpin dibutuhkan saat badai besar menerjang dan kapal tak mengetahui arah tujuan.
Di tengah situasi seperti ini tidak ada panduan pasti bagi para pemimpin perusahaan untuk mengambil langkah. Salah satu yang harus dimiliki pemimpin saat ini adalah berani mencoba. Tidak sedikit yang gagal. Kegagalan bukanlah masalah besar, asal segera bangkit dan membuat strategi berani lagi. Tidak ada cara lain selain perusahaan-perusahaan mapan mencari perubahan yang berbasis digital sebagai upaya membuat mereka relevan dengan zaman. (ANDREAS MARYOTO)