JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 defisit 670 juta dollar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Ini terjadi karena nilai impor, yaitu 15,13 miliar dollar AS, meningkat lebih tinggi dari nilai ekspor yang sebesar 14,46 miliar dollar AS.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan akan terjadi potensi kehilangan devisa dari ekspor otomotif selama periode Desember 2017-Maret 2018. Hal itu terjadi karena dampak regulasi yang diterbitkan Pemerintah Vietnam. Regulasi itu mengatur sejumlah persyaratan kelaikan kendaraan, termasuk emisi dan keselamatan.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan, Jumat (16/2), mengatakan, Vietnam mensyaratkan standar internasional untuk kelaikan kendaraan termasuk emisi dan keselamatan. Vietnam menganggap Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah diterapkan selama ini belum cukup sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Padahal, Indonesia menilai, ketentuan yang dikeluarkan sudah sangat mendukung dan lengkap. Selain itu, sertifikasi yang dilakukan otoritas di Vietnam dan Indonesia menggunakan proses dan peralatan uji yang sama.
”Regulasi Vietnam itu berpotensi membuat ekspor mobil Indonesia ke Vietnam terancam terhenti. Potensi ekspor yang hilang diperkirakan sebesar 85 juta dollar AS (Rp 1,15 triliun) selama periode Desember 2017-Maret 2018,” kata Oke. Pemerintah akan mengirim tim lintas instansi dan industri ke Vietnam sebagai upaya mengatasi hambatan perdagangan tersebut.
Harga komoditas
Melihat pertumbuhan impor pada awal tahun ini, ekonom dan Bank Indonesia (BI) menilai hal itu sejalan dengan kenaikan investasi. Di sisi lain, impor yang lebih besar daripada ekspor itu akan meningkatkan defisit transaksi berjalan menjadi 1,8-2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, defisit terjadi karena pengaruh harga komoditas ekspor. Pada akhir 2017, harga minyak sawit mentah dan batubara meningkat pesat. Akan tetapi, pada awal tahun ini hanya sedikit meningkat.
Diperkirakan pada 2018 harga komoditas memang akan meningkat, tetapi dengan pertumbuhan yang semakin lambat atau tidak sebesar peningkatan harga tahun lalu. ”Kondisi ini akan menyebabkan defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit tersebut diproyeksikan naik dari 1,7 persen terhadap produk domestik bruto pada 2017 menjadi 1,8 persen dari produk domestik bruto pada 2017,” kata Dendi.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, defisit neraca perdagangan pada awal tahun terjadi karena adanya akselerasi impor, terutama barang modal, seperti bahan mentah dan mesin-mesin. Pertumbuhan impor itu sejalan dengan kenaikan investasi tahun lalu.
Hal itu menandakan, pemulihan perekonomian domestik semakin membaik. Namun, pemangku kepentingan terkait perlu mengantisipasi potensi kenaikan defisit transaksi berjalan pada tahun ini.
”Akselerasi impor itu akan sedikit menaikkan defisit transaksi berjalan dari 1,7 persen pada tahun lalu menjadi 2-2,1 persen pada tahun ini. Kendati begitu, defisit itu masih pada level sangat sehat,” kata Mirza.
Berdasarkan data BPS, pada Januari 2018, impor bahan baku/penolong dan barang modal memang meningkat signifikan. Impor bahan baku/penolong meningkat 74,58 persen atau 11,29 miliar dollar AS dari total impor Indonesia. Adapun impor barang modal meningkat 16,48 persen atau 2,49 miliar dollar AS. (HEN)