JAKARTA, KOMPAS — Keuangan inklusif bukan sekadar memeratakan akses keuangan kepada masyarakat yang belum terjangkau layanan keuangan. Keuangan inklusif perlu ditingkatkan lagi dengan memberdayakan masyarakat penerima manfaat, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah.
Peningkatan keuangan inklusif perlu dioptimalkan dengan memanfaatkan teknologi digital dengan pelaksana tidak hanya perbankan, tetapi juga pelaku usaha rintisan teknologi finansial (tekfin). Hal itu mengemuka dalam diskusi Ngobrol Pemerataan Ekonomi bertema ”Mendorong Terciptanya Keuangan Inklusif Melalui Pemanfaatan Sistem Digital” di Jakarta, Rabu (14/2). Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso hadir sebagai pembicara kunci.
Darmin mengatakan, konteks utama dari keuangan inklusif adalah pemerataan ekonomi. Sasarannya tidak hanya meningkatkan literasi dan akses keuangan masyarakat atau memberikan bantuan sosial dan subsidi, tetapi juga memberdayakan masyarakat.
Salah satunya adalah membuka atau menciptakan peluang pasar dan perdagangan bagi masyarakat kecil, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal itu, misalnya, dilakukan dengan membentuk pedagang atau pengepul yang berperan sebagai agregator yang memfasilitasi pemasaran produk-produk UMKM. ”Perlu juga membuat platform sederhana yang dapat diakses masyarakat kecil yang memuat informasi yang berguna bagi pengembangan usaha mereka,” kata Darmin.
Pada 2019, pemerintah menargetkan indeks keuangan infklusif Indonesia mencapai 75 persen. Pada 2016, indeks keuangan inklusif Indonesia telah mencapai 63 persen. Sasaran keuangan inklusif itu antara lain masyarakat berpendapatan rendah dan rentan, pelaku UMKM, ibu rumah tangga, dan pekerja migran di dalam negeri atau luar negeri.
Wimboh mengemukakan, keuangan inklusif itu melibatkan dua sisi, yaitu komersial dan sosial. Keduanya harus ditempatkan dalam posisi yang seimbang agar bisa berkelanjutan. OJK terus berupaya meningkatkan keuangan inklusif, salah satunya dengan mengoptimalkan kinerja agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Keuangan inklusif kurang tumbuh optimal karena satu agen hanya melayani satu bank.
”Kami akan mendorong agar agen Laku Pandai dapat menjadi multiple agent. OJK juga akan memfasilitasi penyediaan kredit usaha rakyat untuk modal kerja para agen,” katanya.
Agen lembaga keuangan
Data OJK menunjukkan, hingga akhir Desember 2017, jumlah agen Laku Pandai dari 27 bank tercatat sebanyak 740.121 agen yang tersebar di 512 kabupaten/kota di 34 provinsi. Jumlah nasabah Laku Pandai sebanyak 13,64 juta orang dengan total nilai tabungan yang tidak memiliki batas minimum (basic saving account) Rp 1,02 miliar.
Di tengah perkembangan tekfin, lanjut Wimboh, OJK mendorong mereka meningkatkan keuangan inklusif. Perusahaan itu bisa berkolaborasi dengan perbankan dan harus mengedepankan perlindungan konsumen. Perusahaan yang bergerak di bidang pinjam-meminjam antarpihak (P2P lending) diarahkan agar tidak sekadar menyalurkan kredit, tetapi juga perlu membina peminjam kredit agar usahanya berkembang.
Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) berharap agar penyaluran kredit kepada UMKM ditingkatkan hingga 20 persen. Penyaluran kredit itu tidak hanya melalui perbankan, tetapi juga bisa dilakukan tekfin.
Asisten Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop dan UKM Willem H Pasaribu mengatakan, outstanding pembiayaan perbankan kepada UMKM pada 2016 sudah mencapai 19,98 persen dari total kredit perbankan. Hal ini perlu ditingkatkan lagi menjadi 20 persen dari total kredit perbankan sesuai arahan Bank Indonesia.
”Peningkatan portofolio kredit UMKM akan turut memperbaiki rasio gini Indonesia. Saat ini, koefisien korelasinya masih rendah, yaitu minus 0,21, belum mencapai koefisien ideal sebesar 5. Untuk itu, perbankan perlu meningkatkan penyaluran kredit UMKM,” ujar Willem. (HEN)