JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan Puncak Ke-6 Pemerintahan Dunia di Dubai, Uni Emirat Arab, memberikan penghargaan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri terbaik sedunia. Sri Mulyani adalah menteri pertama dari kawasan Asia yang menerima penghargaan itu.
Penghargaan diserahkan Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Uni Emirat Arab Sheikh Mohammad bin Rashid al-Maktoum di Dubai, Minggu (11/2). Sri Mulyani merupakan orang ketiga yang menerima penghargaan itu sejak kali pertama digelar pada 2016.
Menteri pertama yang menerimanya ialah Menteri Lingkungan Hidup Australia Greg Hunt. Setahun berikutnya, penghargaan diberikan kepada Menteri Kesehatan dan Sosial Senegal Awa Marie Coll-Seck.
Mengutip siaran pers Kementerian Keuangan, Sri Mulyani dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas penghargaan tersebut. Ia mengatakan, penghargaan itu merupakan pengakuan atas kerja kolektif Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, khususnya di bidang ekonomi.
Sri Mulyani juga mempersembahkan penghargaan itu kepada 257 juta rakyat Indonesia dan 78.164 pegawai Kementerian Keuangan yang telah bekerja keras mengelola keuangan negara dengan integritas dan komitmen tinggi.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan tatkala negara tengah melakukan reformasi besar. Reformasi yang dimaksud terutama berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus membiayai besar-besaran belanja infrastruktur, pendidikan, dan jaring pengaman sosial di tengah keterbatasan penerimaan.
Oleh sebab itu, Tony melanjutkan, reformasi melalui program pengampunan pajak dan upaya mendorong kepatuhan membayar pajak jadi milestone (pencapaian) penting. Pada saat yang sama, Sri Mulyani juga berhasil menjaga defisit APBN tidak melampaui 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
”Sejauh ini, Sri Mulyani berhasil. Kalau ada hal yang belum sukses, itu adalah upaya keras dari sisi fiskal tersebut yang belum berhasil mengungkit pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Rasanya ini masih butuh waktu,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Tony, pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana fiskal menstimulasi ekonomi agar tumbuh ke arah 6 persen atau lebih. Sebab, ujung dari kerja keras fiskal adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi berkualitas, yakni tinggi dan inklusif. Artinya, pertumbuhan dapat menyerap banyak tenaga kerja, berkeadilan, dan memperbaiki distribusi pendapatan. (LAS)