JAKARTA, KOMPAS — Kekosongan pemanfaatan zona ekonomi eksklusif Indonesia mendorong kasus pencurian ikan, selain juga penyelundupan narkoba lewat jalur laut. Pemerintah diharapkan lebih fokus melakukan pengawasan dan memperkuat nelayan agar dapat menangkap ikan hingga perairan perbatasan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, di Jakarta, Minggu (11/2), mengemukakan, di perairan perbatasan, modus kejahatan yang marak tidak hanya penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF), tetapi juga penyelundupan narkoba dan pupuk untuk bom ikan.
Tahun 2017, kasus tindak pidana bahan peledak mencapai 90 kasus. Bea Cukai Bali di antaranya menangkap kasus penyelundupan 63 ton bom ikan. Adapun kapal penangkap ikan ilegal yang ditenggelamkan selama 2014-2017 sebanyak 363 kapal, meliputi 21 kapal Indonesia dan 342 kapal asing.
Andi berpandangan, diperlukan sinergi lintas kementerian dan instansi untuk memperkuat pengawasan di wilayah perairan perbatasan yang menjadi jalur gemuk penyelundupan. Selain pengawasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga perlu segera mendorong penguatan nelayan untuk mengisi kekosongan kapal dalam negeri di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).
Kapal kecil
Program bantuan ribuan kapal ikan ukuran kecil, 5-30 gros ton (GT), yang digulirkan pemerintah selama tiga tahun terakhir dinilai belum signifikan mengisi perairan kosong di ZEEI. ”Kapal-kapal kecil tidak akan sanggup ke ZEEI. Kalaupun sanggup, kapal itu tidak dilengkapi teknologi penyimpanan ikan untuk bisa mendaratkan ikan berkualitas baik dalam jumlah besar,” katanya.
Kekosongan ZEEI dari nelayan dalam negeri dan pengawasan yang lemah jika dibandingkan luasan laut Indonesia selama ini menjadi pemikat negara-negara tetangga yang tidak memiliki sumber daya ikan untuk mencuri ikan di perairan Indonesia. Pencurian tetap marak kendati pemberantasan kapal ilegal terus dilakukan.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional perlu direalisasikan dengan tindakan cepat dan koordinasi lintas 21 kementerian dan lembaga. Hal ini juga akan memampukan nelayan dalam negeri untuk memanfaatkan perairan terluar yang ditunjang dengan hilirisasi perikanan.
Peneliti DFW-Indonesia, Nilmawati, menambahkan, walaupun KKP mengklaim telah berhasil menurunkan aktivitas perikanan ilegal, tindak pidana perikanan di perairan terluar masih tinggi. Dicontohkan, di Laut Natuna sepanjang 2017 terdapat setidaknya 94 pelanggaran pidana perikanan oleh kapal ikan asing. Ini merupakan angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
”Ketidakmampuan nelayan-nelayan lokal memanfaatkan potensi perikanan di perairan ZEE ditambah belum jelasnya batas maritim menjadi pemicu maraknya aktivitas perikanan ilegal di perairan terdepan ini,” kata Nilmawati.
Dalam paparan rencana kerja tahun 2018, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo mengemukakan, operasional kapal pengawas KKP untuk tahun 2018 ditetapkan sejumlah 145 hari, meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebanyak 131 hari operasional. Di samping itu, juga dilakukan operasi pengawas dengan pesawat udara di tujuh wilayah prioritas pengawasan. (LKT)