Uang virtual dogecoin diluncurkan Desember 2013 dengan simbol huruf D yang berlatar wajah seekor shiba inu, jenis anjing ras Jepang. Istilah ”doge” itu merujuk pada sebuah meme populer yang menggunakan wajah dan ekspresi sang anjing. The Economist mencatat, dogecoin dan maskot anjingnya itu diluncurkan sebagai parodi untuk bitcoin.
Jangan meremehkan sebuah parodi. Data CoinMarketCap menunjukkan, 8 Januari 2018, peredaran dogecoin di pasar pernah menembus 2 miliar dollar AS. Spekulasi liar pada perdagangan uang virtual juga tecermin pada dogecoin. Dalam dua pekan terakhir, nilai dogecoin merosot, kapitalisasi pasarnya bahkan kembali ke kisaran 500 juta dollar AS.
Dogecoin bukan satu-satunya uang virtual yang melejit justru karena dianggap masih murah dan belum banyak diincar pasar. Ketika harga bitcoin, uang virtual dengan kapitalisasi pasar terbesar, dianggap sudah terlalu mahal, penggemar uang virtual pun mengejar jenis uang virtual lain. Kalangan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai tech savvy, alias akrab dengan teknologi, ini kerap mengoleksi beberapa jenis uang virtual sekaligus.
Sebagian besar dari mereka tergolong generasi milenial, bahkan generasi Z yang masih tergolong remaja. Sebagian dari kalangan ini juga terkesan ”tak serius” menyikapi fenomena uang virtual. Maksudnya, uang virtual di mata mereka bak produk permainan teknologi yang seru. Spekulasi nilai dalam perdagangan uang virtual bagi mereka seolah bukan hal mengerikan. Mereka berinvestasi pada uang virtual sebatas kesanggupan mereka menanggung risiko jika modal yang diinvestasikan itu menguap.
Piring terbang
Lebih dari 1.500 jenis uang virtual direkam pergerakannya pada situs CoinMarketCap. Di antara daftar panjang itu, ada nama yang mungkin terkesan aneh. Misalnya, putincoin yang menggunakan simbol wajah Presiden Rusia Vladimir Putin, UFOcoin yang menggunakan simbol piring terbang UFO. Tak ketinggalan juga dragonchain yang memakai simbol naga berwarna biru.
Sejumlah uang virtual tentu dianggap lebih digdaya daripada yang lain. Tiga uang virtual yang mengukuhkan posisi terkuat saat ini adalah bitcoin, ethereum, dan ripple. Kapitalisasi bitcoin pernah mencapai 193 miliar dollar AS, jatuh ke kisaran 140 miliar dollar AS dalam sepekan terakhir. Meski demikian, bitcoin masih mendominasi pasar uang virtual, dengan pangsa sekitar 34 persen.
Kapitalisasi pasar ethereum juga pernah menembus 100 miliar dollar AS, sedangkan ripple di posisi ketiga dengan nilai kapitalisasi pasar yang pernah mencapai 48 miliar dollar AS. Seperti bitcoin, nilai kapitalisasi pasar ethereum ataupun ripple juga merosot dalam sepekan terakhir.
Diluncurkan sejak 2009, bitcoin adalah aplikasi pertama dari blockchain, infrastruktur teknologi yang mendasari pengembangan uang virtual. Sebagian penggemar uang virtual bahkan menyebut penerapan blockchain generasi pertama pada bitcoin itu ”using” jika dibandingkan dengan penerapan teknologi ini pada uang virtual yang datang belakangan. Mereka mampu membedakan secara konseptual di mana kelemahan dan kekuatan satu mata uang virtual dengan lainnya.
Masalahnya, di tengah demam uang virtual belakangan ini, tak sedikit orang yang membeli uang virtual semata karena tergiur imbal hasil (capital gain) dari spekuasi perdagangan uang virtual dalam jangka pendek. Mereka tak memiliki pengetahuan lebih terkait uang virtual, juga tidak mengukur risiko spekulasi tersebut.
Kolumnis The New York Times, Kevin Roose, mengingatkan, permainan kasino kerap lebih populer dibandingkan instrumen moneter yang stabil. Bagi mereka yang sekadar ingin cari untung cepat dari perdagangan uang virtual, spekulasi itu tak ubahnya permainan kasino.
Di Indonesia, tingkat literasi keuangan masih tergolong rendah. Dalam kondisi seperti itu, terjun dalam arus perdagangan uang virtual tanpa memahami konsep, aspek teknik, dan risikonya sangat tidak disarankan. (NUR HIDAYATI)