JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas harga batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik di dalam negeri perlu dijaga. Kinerja keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mulai tertekan seiring tak adanya perubahan tarif listrik.
Salah satu usulan untuk mengatasi hal itu adalah penetapan harga berdasarkan ongkos operasi penambangan ditambah margin. Harga batubara acuan (HBA) periode Januari 2018 tercatat sebesar 95,54 dollar AS per ton, naik 1,6 persen dibandingkan HBA Desember 2017 sebesar 94,04 dollar AS per ton. HBA Januari 2018 lebih tinggi ketimbang HBA Januari 2017 sebesar 86,23 dollar AS per ton.
Padahal, hampir 60 persen pembangkit yang dioperasikan PLN memakai batubara sebagai energi primer. PLN pernah meminta pemerintah mematok harga batubara untuk kebutuhan pembangkit tak disamakan dengan harga yang berlaku di pasar internasional. Penentuan HBA mengacu, antara lain, pada Platts59 Index, New Castle Export Index, dan New Castle Global Coal Index.
”Keinginan PLN untuk memperoleh harga khusus adalah hal yang wajar. Namun, permintaan itu harus adil juga bagi pengusaha tambang batubara pada saat harga batubara rendah atau tinggi,” kata Ketua Indonesia Mining Istitute (IMI) Irwandy Arif, Minggu (4/2), saat dihubungi di Jakarta.
Irwandy mengatakan, dirinya sepakat dengan skema harga batubara khusus cost plus atau biaya produksi ditambah margin. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pernah menolak usulan itu. Menurut dia, cara itu tidak mendukung efisiensi. Di tengah harga batubara yang terus naik, sementara tarif listrik tak berubah, PLN harus efisien dalam menjalankan operasinya.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso juga mengatakan, penetapan harga batubara untuk pembangkit listrik di dalam negeri dengan mengacu pada harga indeks pasar internasional kurang adil. Ia mengusulkan, sebaiknya pemerintah mengkaji model penetapan harga batubara acuan. (APO)