Bibit Terbatas Jadi Kendala
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan bibit menjadi kendala mempercepat peningkatan produksi bawang putih. Saat ini, jumlah bibit yang tersedia sangat terbatas.
Untuk itu, selain memproyeksikan semua produksi lokal untuk bibit, pemerintah mengizinkan impor bibit yang terbukti sukses ditanam di Indonesia.
Hingga akhir 2017, realisasi program penanaman bawang putih yang dibiayai APBN Perubahan 2017 tercatat 1.720 hektar atau hanya sekitar 55 persen dari target 3.150 hektar. Sementara kewajiban importir bawang putih untuk memproduksi 5 persen dari total kuota impor belum tuntas. Dari 2.868 hektar luas wajib tanam, realisasinya sampai akhir 2017 baru 865 hektar.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto, saat dihubungi di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (31/1), menyatakan, ketersediaan bibit menjadi tantangan utama pengembangan bawang putih di dalam negeri. Selama puluhan tahun, petani tidak membudidayakan bawang putih, khususnya di daerah yang sebelumnya menjadi sentra, seperti Enrekang, Sulawesi Selatan, dan Solok, Sumatera Barat.
Harga yang anjlok membuat petani rugi. Setelah berulang- ulang rugi, petani beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menjanjikan keuntungan. Akibatnya, bibit yang biasanya disisihkan dari panen sebelumnya habis untuk konsumsi atau rusak. Kini, saat pemerintah memacu produksi demi swasembada, benihnya tak cukup tersedia.
Dengan kebutuhan nasional mencapai 480.000 ton per tahun, produktivitas 8 ton per hektar, dan kebutuhan bibit 1 ton per hektar, dibutuhkan setidaknya 60.000 ton bibit untuk memproduksi bawang putih di dalam negeri dalam setahun. Namun, sampai dengan akhir tahun ini, produksi bibit diperkirakan hanya sekitar 12.000 ton.
Impor
Dengan kondisi itu, Kementerian Pertanian menguji coba bibit impor untuk ditanam di dalam negeri. ”Ada bibit asal Taiwan yang sudah diuji coba tanam dan hasilnya bagus, antara lain dari bentuk dan ukuran umbi serta aroma. Oleh karena itu, kami mengizinkan importir mendatangkannya untuk memenuhi kekurangan bibit,” tambah Prihasto.
Keterbatasan bibit bawang putih semestinya tak perlu terjadi jika petani mendapat kepastian harga. Menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Budi Luhur, Abdul Jafar (43) di Tegal, Jawa Tengah, kerugian bertubi-tubi pada masa lalu membuat petani kapok. Mereka lalu beralih ke komoditas lain.
Oleh karena itu, kata Jafar, agar produksi kontinu dan terus meningkat, keuntungan di tingkat usaha tani mesti dijamin. Ketika harga jual menguntungkan, petani akan termotivasi meningkatkan produksi dan mutu hasil panennya.
Berbeda dengan bawang merah, budidaya bawang putih lebih rumit, mensyaratkan agroklimat yang spesifik, seperti ketinggian lahan 700-1.200 meter di atas permukaan laut, dan membutuhkan waktu lebih lama.
Tahun lalu, saat harga bawang putih bergejolak, yakni naik sekitar 70 persen menjadi Rp 57.000 per kilogram (kg), pemerintah memperketat pengaturan impor serta mewajibkan importir memproduksi 5 persen dari volume impor. Ketentuan itu diharapkan mempercepat peningkatan produksi dan daya saing bawang putih dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, produksi bawang putih nasional tak lebih dari 23.000 ton per tahun sejak 2010. Adapun kebutuhan bawang putih secara nasional 460.000-510.000 ton per tahun.
Sekitar 95 persen kebutuhan nasional dipenuhi dengan bawang putih impor, biasanya dari China, India, dan Vietnam. Tahun 2016, volume impor bawang putih 444.294 ton senilai 43,6 juta dollar AS. (MKN)