INDRAMAYU, KOMPAS — Ledakan serangan hama di sentra padi pada 2017 menunjukkan pengendalian hama yang belum optimal di tengah ambisi pemerintah mengejar peningkatan produksi. Tanpa upaya antisipasi, kondisi tersebut dapat terulang.
Hal itu terungkap dalam musyawarah rapat kerja nasional Gerakan Petani Nusantara (GPN) di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Minggu (28/1). Turut berbicara antara lain Ketua Umum GPN Hermanu Triwidodo, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Yunita Winarto, dan Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyono.
Menurut Hermanu, berdasarkan Inpres No 3 Tahun 1986, pemerintah menginstruksikan penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Inpres itu juga melarang 57 jenis (nama merek dagang) insektisida untuk digunakan pada pertanaman padi.
Namun, setelah caturwindu atau 32 tahun berjalan, PHT belum berjalan optimal. ”Petani umumnya tidak mengetahui insektisida yang dilarang. Bahkan, seharusnya sudah lebih dari 150 merek dilarang,” ujarnya.
Petani juga minim mendapatkan pembelajaran terkait cara pengendalian hama. Pada saat yang sama, petani sulit melepaskan diri dari pestisida kimia. ”Alasannya, petani sudah terbiasa menggunakannya karena hasilnya instan, apalagi jika itu bantuan,” lanjut Hermanu.
Terlebih lagi, pemerintah mengejar peningkatan produksi padi melalui intensifikasi, seperti tanam padi hingga tiga kali setahun. Padahal, lanjut Hermanu, langkah antisipasi seperti tidak menggunakan herbisida atau mengistirahatkan lahan adalah yang utama dalam pengendalian hama.
”Jika tidak diantisipasi, ya, seperti sekarang ini, impor beras 500.000 ton. Padahal, pemerintah mengklaim surplus,” ujarnya.
Suryo mengatakan, menanam padi tiga bahkan empat kali tanpa jeda menyebabkan jembatan hama antarmusim. Artinya, potensi ledakan hama sangat besar. Serangan virus kerdil rumput dan virus kerdil hampa yang dibawa hama wereng di sentra padi pada 2017, misalnya.
”Diperkirakan ada 70.000 hektar lahan yang terdampak di pantura Jabar. Ini terbesar dalam sejarah,” ujarnya.
Virus yang dikenal dengan sebutan klowor itu hanya bisa ditangani dengan mengistirahatkan lahan, bukan dengan pestisida. ”Kalau terkena pada umur padi di bawah 30 hari setelah tanam, sebaiknya tanamannya langsung dicabut,” ujarnya.
Yunita yang selama ini turut mendampingi petani mengatakan, tidak mudah untuk mengubah pandangan petani dalam bertani. Apalagi, saat petani bergantung pada pestisida dan pupuk kimia. Menurut dia, petani yang pernah mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) pada 1990-an punya semangat untuk bertani tanpa bahan kimia.
”Namun, program ini tidak intensif. Petani merasa ditinggalkan dan kecewa. Tiba-tiba, ada yang datang untuk menawarkan pestisida kimia sebagai obat,” ujarnya. Untuk itu, upaya PHT perlu digiatkan kembali dengan melibatkan partisipasi petani.