JAKARTA, KOMPAS — Obligasi daerah menjadi instrumen keuangan yang berpotensi diserap perusahaan asuransi. Syarat utamanya adalah risiko minim dan tingkat pengembalian di atas imbal hasil Surat Berharga Negara.
”Saya setuju dengan obligasi daerah. Dana asuransi berpotensi diinvestasikan ke obligasi daerah. Kami senang kalau pemerintah daerah mau presentasi ke AAJI,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu di Jakarta, Rabu (24/1).
Perusahaan asuransi biasanya mengombinasikan risiko minim dan tingkat pengembalian tinggi dalam menginvestasikan dana. Menurut Togar, risiko obligasi daerah tergolong aman karena dimiliki pemerintah daerah. Ketatnya prosedur bagi pemerintah daerah untuk bisa menerbitkan obligasi daerah, yakni melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjadi saringan untuk memitigasi risiko.
Untuk tingkat pengembalian, Togar mengatakan harus di atas imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Setidaknya jika bisa 2 persen di atas imbal hasil SBN, obligasi daerah bisa menarik minat perusahaan asuransi. ”Untuk tenornya, jangan panjang-panjang dulu, 5-10 tahun,” ucapnya.
Berdasarkan data OJK per November 2017, terdapat 151 perusahaan asuransi yang beroperasi di Indonesia. Total aset mencapai Rp 1.136 triliun. Terbesar adalah aset milik asuransi jiwa senilai Rp 524,86 triliun.
Dana itu diinvestasikan ke sejumlah instrumen. Di antaranya reksa dana, saham, SBN, obligasi korporasi, dan deposito. ”Deposito wajib menjadi salah satu penempatan dana, tetapi jumlahnya tertentu saja. Ini untuk menjaga likuiditas perusahaan. Artinya, kalau ada klaim di luar dugaan, ada dana yang siap,” kata Togar.
Instrumen keuangan
Sementara itu, CEO PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia Edy Tuhirman menuturkan, potensi asuransi syariah di Indonesia sangat besar. ”Jumlah penduduk Muslim kelas menengah saat ini mencapai 74 juta orang. Jika asuransi wakaf diterima masyarakat, produk ini tidak hanya untuk memberikan perlindungan jiwa, tetapi juga memenuhi kebutuhan spiritual nasabah dalam beribadah dengan fitur wakaf,” kata Edy.
Produk syariah yang ditawarkan Generali adalah Insurance Protection Linked Auto Navigation (iPLAN) Syariah. Pengamat ekonomi syariah Adiwarman A Karim menjelaskan, wakaf adalah salah satu instrumen keuangan syariah yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
”Dengan wakaf, kita bisa mengurangi kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat, menyediakan fasilitas umum, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Wakaf memiliki beragam jenis, salah satunya wakaf uang atau tunai yang lebih fleksibel dan mudah,” kata Adiwarman.
Data Bank Indonesia menunjukkan, sektor sosial Islam yang mencakup sistem wakaf memiliki potensi sekitar Rp 217 triliun, setara dengan 3,4 persen produk domestik bruto Indonesia. Ini bisa berperan penting mempercepat pembangunan ekonomi dan mendukung stabilitas keuangan. Pemanfaatan wakaf uang yang optimal diharapkan dapat membantu pemerintah mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Di tempat terpisah, AAJI menyelenggarakan kegiatan Digital and Risk Management in Insurance. Ketua Umum AAJI Hendrisman Rahim mengatakan, perkembangan teknologi digital sudah tidak dapat disikapi oleh industri dengan reaktif. ”Teknologi tidak hanya mengubah perilaku individu dalam melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi juga mengubah perilaku pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya,” ujarnya. (LAS/ARN)