JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan perlindungan pekerja migran harus dilakukan dua arah, baik oleh negara pengirim maupun penerima. Komitmen kebijakan ini dinilai sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono, Rabu (10/1), di Jakarta, mengatakan, Pemerintah Malaysia telah mengeluarkan kebijakan perekrutan langsung pekerja rumah tangga (PRT) migran beberapa waktu lalu. Hal ini dikabarkan berlaku sejak 1 Januari 2018. Namun, kebijakan ini sama sekali belum dikomunikasikan dengan negara pengirim, termasuk Indonesia.
Hingga sekarang, Pemerintah Indonesia masih berusaha membahas hal ini dengan Malaysia. Pemerintah Indonesia merasa bahwa kebijakan perekrutan langsung PRT migran memiliki beberapa konsekuensi negatif.
Menurut Hermono, Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) memang mengakui skema penempatan secara mandiri. Namun, skema ini hanya berlaku bagi pekerja migran yang memiliki kompetensi dan keahlian.
Untuk PRT migran, tetap digunakan skema penempatan melalui jasa agen. Dia menyebutkan, ketentuan teknis skema ini terangkum di Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2013.
Kebijakan perekrutan langsung PRT migran yang ditawarkan Malaysia tidak mengakui skema penempatan yang dianut Indonesia tersebut. Implementasi kebijakan perekrutan langsung memungkinkan pengguna perseorangan Malaysia langsung mengontak tenaga yang diinginkan atau berhubungan langsung dengan agen penyuplai tenaga kerja yang terdaftar di Pemerintah Malaysia.
”Kami memahami bahwa mereka (Malaysia) ingin sistem perekrutan sampai penempatan PRT migran menjadi lebih ringkas. Namun, mereka sama sekali belum menjelaskan secara rinci implementasi teknis dan cakupan perlindungan dari kebijakan itu. Di sisi lain, nota kesepahaman perlindungan pekerja migran Indonesia-Malaysia sudah kedaluwarsa sejak 31 Mei 2016 dan mereka belum kunjung membahasnya lebih serius,” katanya.
Dalam laporan Bank Dunia berjudul ”Pekerja Migran Global Indonesia: Antara Peluang dan Risiko” (November 2017) disebutkan, lebih dari sembilan juta WNI bekerja di luar negeri. Lebih dari tiga perempat di antara mereka adalah pekerja berketerampilan rendah, seperti PRT. Sekitar 40 persen dari total berlatar belakang pekerja nonprosedural.
Menurut Hermono, asumsi pemerintah terdapat 2,5 juta hingga 3,7 juta warga Indonesia bekerja di Malaysia. Hampir separuhnya diduga nonprosedural. Apabila Malaysia menerapkan kebijakan perekrutan langsung PRT migran, ada kekhawatiran semakin banyak pekerja nonprosedural ketentuan Indonesia berdatangan ke sana.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Hery Sudarmanto mengatakan, Pemerintah Indonesia berulang-ulang mengajak Malaysia membahas pembaruan nota kesepahaman perlindungan pekerja migran. Pertemuan terakhir dilakukan November 2017. Hingga kini, belum tampak titik terang.
Menurut Hery, UU PPMI harus dilihat sebagai paradigma negara melindungi warga negara yang bekerja di luar negeri. Di UU itu terangkum larangan serta sanksi pidana dan denda bagi siapa saja, termasuk pejabat, yang berani memberangkatkan pekerja migran tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Direktur Intelijen Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Yudi Kurniadi menambahkan, pencegahan penempatan pekerja migran Indonesia nonprosedural terus dilakukan. (MED)