JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan induk pertambangan diharapkan fokus pada hilirisasi mineral tambang. Urusan terkait produksi tambang dinilai lebih tepat diserahkan pada anak perusahaan. Hal itu karena hilirisasi mineral dan produksi tambang dipandang sebagai dua bisnis yang sama sekali berbeda. Pandangan ini disampaikan Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies Budi Santoso.
”Hilirisasi mineral tambang seharusnya dikaitkan dengan industri, sebab secara bisnis jauh berbeda dengan pertambangan. Visi undang-undang pertambangan mineral dan batubara adalah meningkatkan nilai tambah mineral sesuai tujuan nasional, yaitu untuk kecukupan kebutuhan logam dan nonlogam sebagai bagian dari industrialisasi,” kata Budi, Selasa (9/1), di Jakarta.
Terkait hal itu, lanjut Budi, urusan produksi tambang sebaiknya diserahkan kepada anak usaha. Perusahaan induk idealnya berfokus mengintegrasikan hilirisasi mineral dengan sektor industri. Untuk mendukung hilirisasi, tetap perlu didorong tumbuhnya industri smelter (pengolahan dan pemurnian mineral tambang) di dalam negeri.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar menuturkan, kemudahan perizinan amat diperlukan untuk mendukung pengembangan industri pemurnian dan pengolahan. ”Smelter adalah industri yang mengolah hasil tambang, memproses sehingga terjadi pengubahan bentuk. Jadi, harusnya cukup IUI (izin usaha industri) kalau ingin mendorong smelter. Jangan sampai ada banyak izin yang lain,” kata Haris.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Harjanto menuturkan, terdapat dualisme perizinan untuk industri pemurnian dan pengolahan. Dualisme dimaksud antara IUI berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 dan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) pengolahan dan pemurnian berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009. Padahal, kedua perizinan tersebut mengatur satu kegiatan usaha yang sama.
Tenaga kerja asing
Upaya menggalakkan hilirisasi mineral tambang di dalam negeri juga menghadapi tantangan dalam hal tenaga kerja. Di beberapa proyek pembangunan smelter, ditemukan sejumlah tenaga kerja asing asal China. Misalnya, pada smelter bauksit di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, atau smelter nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Masyarakat sekitar lokasi pembangunan smelter ini justru tidak menikmati nilai tambah pembangunan smelter dalam hal penciptaan lapangan kerja.
Berdasarkan Data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTKA) terbanyak datang dari China. Pada 2012, jumlah IMTKA China sebanyak 16.731. Pada Januari-Agustus 2017, jumlah IMTKA mencapai 23.841.
Analis Indonesia Labor Institute Rekson Silaban berpendapat, pemerintah perlu segera mengubah aturan tentang tenaga kerja asing. Pasalnya, telah terjadi pergeseran kerja sama investasi. Penanaman modal langsung dari China, misalnya, mensyaratkan tenaga kerja sebagai satu bagian dari paket investasi yang ditawarkan.
”Pilihannya adalah terima syarat mereka atau menolak investasinya,” kata Rekson.(APO/CAS/MED)