Penggunaan sumber dana harus dilakukan dengan sangat efisien supaya perbankan tetap punya daya saing. Pembukaan kantor cabang baru di daerah-daerah tidak lagi menjadi prioritas. Selain mahal dari sisi biaya, bank lebih memilih mengoptimalkan kanal transaksi melalui internet dan mendorong transaksi nontunai menggunakan kartu. Dengan dukungan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan, bank juga bisa menggandeng pelaku usaha kecil untuk menjadi agen bank nirkantor.
Awalnya program yang disebut Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) itu dirancang untuk menjadi perpanjangan bank dalam memberikan layanan dasar. Layanan dasar yang dimaksud adalah simpanan dan tarik tunai serta pembukaan rekening baru perbankan. Belakangan, dalam evaluasi diketahui bahwa kontribusi agen bank nirkantor dalam menambah jumlah rekening bank relatif sedikit.
Agen bank nirkantor lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai tempat pembayaran, seperti untuk beli pulsa atau token listrik. Sebagian lainnya memanfaatkan untuk transfer dana ke pihak lain di rekening bank yang sama. Walaupun demikian, target agen bank nirkantor untuk membuka akses keuangan bagi masyarakat di semua kalangan tetap terus dikejar. Harapannya, walaupun saat ini masyarakat memanfaatkan agen bank nirkantor baru sebatas sebagai tempat pembayaran, ke depan mereka bisa memanfaatkannya untuk mendorong produktivitas.
Jika sosialisasi terus ditingkatkan, masyarakat akan terbiasa berhubungan dengan perbankan, minimal melalui agen bank nirkantor dulu. Begitu terbiasa, masyarakat tak akan canggung lagi untuk membuka rekening baru, menabung, dan bahkan mengajukan kredit. Agen bank bisa menjadi perantara pengajuan kredit walaupun keputusan pemberian kredit tetap ada di tangan kantor bank terdekat.
Dari evaluasi ini terlihat bahwa bank perlu menyesuaikan strategi di tengah jalan ketika satu program diluncurkan. Ini sebetulnya jamak dilakukan oleh korporasi lain, yakni dengan melihat ulang progres suatu program. Apalagi, bank berhadapan langsung dengan dunia usaha yang dinamis. Jadi, penyesuaian strategi di tengah jalan bisa menjadi pilihan untuk menjaga kinerja.
Menemukan keseimbangan
Di tengah persaingan yang makin ketat, perbankan nasional juga diandalkan untuk menopang kinerja badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di berbagai bidang. Apalagi, banyak BUMN yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Indonesia. Sebagai contoh adalah BUMN yang bergerak di bidang pembangunan infrastruktur. Mereka berjibaku mencari sumber dana untuk membiayai proyek-proyek yang menjadi penugasan pemerintah.
Pada 2017, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur tercatat sekitar Rp 1.000 triliun. Namun, hanya sekitar Rp 410,7 triliun yang bisa dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. Sisa kebutuhan harus dipenuhi dari berbagai sumber, seperti pinjaman bank dan penerbitan obligasi atau saham. Data uang beredar yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menunjukkan, pada Oktober 2017, kredit konstruksi perbankan Indonesia tercatat sebesar Rp 63,1 triliun yang tumbuh 7,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun kredit konstruksi pada September 2017 tercatat sebesar Rp 61,8 triliun yang tumbuh 5,7 persen selama setahun.
Secara umum, kredit industri perbankan Indonesia pada Oktober 2017 tercatat sebesar Rp 4.588,5 triliun, tumbuh 8 persen dibandingkan Oktober 2016. Pertumbuhan kredit bank lebih rendah dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan yang tumbuh 10,6 persen menjadi Rp 5,019,3 triliun. Pada bulan sebelumnya, dana pihak ketiga tercatat sebesar Rp 4.993,5 triliun yang tumbuh 11,1 persen selama setahun.
Akumulasi dana pihak ketiga yang terdiri dari tabungan, giro, dan deposito itu terjadi karena beberapa sebab, tetapi terutama terjadi karena ada sebagian masyarakat yang menahan belanja. Dengan meningkatnya likuiditas, perbankan sebetulnya memiliki peluang lebih besar untuk memberi kredit ke sektor-sektor strategis yang dikerjakan oleh badan usaha milik negara.
Dua pilihan
Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebutuhan dana untuk proyek-proyek strategis itu biasanya jangka panjang, sementara sumber dana perbankan umumnya jangka pendek. Jika dilihat dari komposisinya, dana pihak ketiga perbankan pada Oktober 2017 terdiri dari giro Rp 1.139 triliun, tabungan Rp 1.592,5 triliun, dan simpanan berjangka Rp 2.287,6 triliun. Tabungan dan giro yang merupakan dana murah bisa setiap saat ditarik oleh nasabah. Sementara simpanan berjangka yang berbiaya tinggi bisa dikalkulasi kapan akan ditarik oleh nasabah.
Namun, tenor simpanan berjangka umumnya juga tidak panjang, yakni hanya sekitar 3 bulan. Dengan ketersediaan dana dengan tenor jangka pendek, memang kemudian terjadi ketidaksesuaian dengan kebutuhan pendanaan proyek-proyek strategis. Dengan melihat beberapa fakta itu, ada dua opsi untuk mendukung pembiayaan bagi badan usaha milik negara.
Pertama, bank-bank yang saham mayoritasnya dikuasai oleh pemerintah menjalin kerja sama khusus dengan BUMN dalam pemberian pinjaman. Karena sama-sama berada di bawah tanggung jawab Kementerian BUMN, ruang gerak mereka untuk menjalin kerja sama terbuka lebar, tetapi dengan tetap mempertimbangkan faktor kehati-hatian.
Kedua, BUMN yang punya proyek-proyek strategis menerbitkan obligasi, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing. Investor bisa berasal dari ritel atau korporasi, termasuk perbankan yang saat ini memiliki kelebihan likuiditas.
Dana dari penerbitan obligasi bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja modal atau investasi. Investor bisa melepas obligasi di pasar sekunder seandainya tiba-tiba memerlukan likuiditas untuk memenuhi kebutuhan intermediasi.