JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya jumlah basis massa Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai petani menjadi peluang bagi sejumlah sektor untuk menjalin kerja sama, khususnya di bidang pertanian. Kerja sama tersebut dapat berupa transfer teknologi dan pengetahuan di bidang pertanian.
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Moeldoko menjelaskan, HKTI berupaya menjalin kerja sama dengan Nahdlatul Ulama karena memiliki kepedulian yang sama terhadap nasib petani di Indonesia. Bentuk kerja samanya adalah dengan sinergisitas antara anggota organisasi otonom di HKTI dan santri PBNU.
”Kami ingin dapat bekerja sama dengan santri di daerah. Bentuknya adalah transfer teknologi dan pengetahuan. Harapan kami, anak-anak pesantren setelah mereka selesai melakukan pendidikan di pesantren, mereka bisa mengabdi di lingkungan di masyarakat. Tidak hanya dalam bentuk syiar, tetapi ilmu pengetahuan di bidang pertanian,” ujar Moeldoko dalam acara penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara HKTI dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (21/12).
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyambut baik kerja sama ini. Ia menuturkan, saat ini jumlah warga NU 91,4 juta orang dan sebagian besar berprofesi sebagai petani.
”Sayangnya, nasib petani di beberapa daerah masih memprihatinkan. Mereka cenderung belum mampu menjual hasil panennya dengan harga tinggi. Selain itu, Kredit Usaha Rakyat tampaknya belum dirasakan oleh petani,” jar Said.
Moeldoko menuturkan, saat ini, petani di Indonesia cenderung mengalami lima masalah utama, yaitu masalah tanah, teknologi, modal, manajemen, dan pascapanen. Ia menuturkan, untuk masalah tanah, yaitu terkait keterbatasannya lahan dan kerusakan tanah akibat penggunaan pestisida.
”Selain itu, kecenderungan petani tradisional tidak memiliki manajemen yang baik. Kemudian, pascapanennya, petani tradisional cenderung mengalami loss 10 persen dari hasil panennya. Contohnya, dalam 1 hektar lahan yang menghasilkan 80 ton hasil panen, maka petani ini kehilangan 0,8 persen dari hasil panennya karena teknologi yang digunakan belum modern,” tutur Moeldoko.
Mengenai target santri yang akan diajak kerja sama, Moeldoko masih belum mau menargetkan jumlahnya. Ia berharap, sistemnya akan berjalan secara simultan dan akan dibentuk modul atau SOP pengajarannya. ”Seperti sistem pelatihan mengenai pertanian organik yang tidak merusak tanah dan pemanfaatan teknologi pertanian. Selain itu, sistem gabungan kelompok tani yang ada di daerah bisa semakin diberdayakan,” kata Moeldoko.
Said menjelaskan, sebelumnya PBNU juga telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertanian. Dalam kerja sama itu, PBNU dan Kementerian Pertanian menargetkan penanaman jagung di lahan seluas 100.000 hektar.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menuturkan, NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang strategis untuk pengembangan pertanian. ”Mimpi besar pemerintah adalah membunuh kemiskinan. Saya yakin, jika NU ikut bergerak, persoalan pertanian bisa selesai,” ujarnya. (Kompas, 1/12).
Kerja sama pengembangan produk pertanian antara PBNU dan Kementerian Pertanian diperluas di sembilan kabupaten di tiga provinsi. Sembilan kabupaten itu, tujuh di antaranya di Provinsi Bengkulu, yakni Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Kaur, Seluma, Mukomuko, Kepahiang, dan Rejang Lebong, serta di Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur) dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan).
Kerja sama serupa pernah dilakukan Kementerian Pertanian dan PBNU di Bengkulu Selatan sejak Juni 2017. Targetnya menanami 10.000 hektar lahan-lahan tidur dan kurang produktif dengan jagung. Hasilnya dianggap sukses. Produktivitas mencapai 5-7 ton per hektar dan warga memperoleh pendapatan setidaknya Rp 15 juta per hektar. (DD05)