Sistem Transaksi yang Transparan dalam Perbankan Dipertimbangkan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem transaksi keuangan yang transparan mulai dipertimbangkan untuk diterapkan di dalam dunia perbankan. Sistem tersebut dinilai dapat membantu pemilik data tetap memiliki akses walaupun mengalami serangan siber karena data transaksi dibagi ke beberapa pengguna.
Sistem transaksi keuangan yang transparan atau disebut blockchain adalah transaksi keuangan berupa uang digital (cryptocurrency) dari sejumlah komputer yang bergabung dalam sebuah jaringan dan tercatat dalam buku besar digital atau ledger. Transaksi melalui sistem yang muncul pada 2009 ini memiliki daya tarik karena proses transaksinya cepat, hampir tanpa potongan, dan tidak memerlukan perantara.
”Beberapa bank di Indonesia juga mulai bersiap mencoba blockchain,” kata Presiden Direktur Dimension Data Indonesia Hendra Lesmana dalam diskusi mengenai ”Blockchain, Mesin Pembelajaran, Robotik, Kepintaran Buatan, dan Teknologi Nirkabel Akan Mengubah Bentuk Bisnis di Tahun 2018” di Jakarta, Rabu (13/12).
Bank-bank tersebut, di antaranya Bank Indonesia (BI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Mandiri, Danamon, dan Permata. Beberapa bekerja sama dengan perusahaan teknologi, seperti Microsoft dan International Business Machines Corporation (IBM).
Hendra menjabarkan, contoh keuntungan penggunaan blockchain adalah apabila bank A melakukan transaksi ke bank B, ketika bank A terkena serangan siber, data transaksi masih dimiliki oleh bank B dan bank lain yang terkoneksi melalui sistem tersebut. Data transaksi bank A yang hilang dapat dimiliki lagi ketika kembali masuk daring.
Menurut Hendra, blockchain ideal dari segi keamanan karena transaksi menjadi desentralisasi, yaitu tidak ada satu pihak tunggal yang memegang data. Data transaksi didistribusikan ke semua pihak yang terlibat. Hal ini agar kasus serangan virus yang meminta tebusan tidak lagi terjadi.
Pada 13 Mei 2017, dunia dilanda serangan teroris siber. Sekitar 130.000 sistem di lebih dari 100 negara terkena serangan ransomware. Program ransomeware yang bernama WannaCry meminta dana tebusan agar data yang dibajak dengan enkripsi bisa diakses kembali. Data milik sejumlah instansi dan perusahaan yang terkunci membuat mereka tidak dapat beroperasi selama beberapa waktu. Adapun tebusan yang diminta adalah dengan pembayaran Bitcoin (Kompas, 14 Mei 2017).
Beberapa bank di dunia telah melakukan uji coba sistem blockchain. misalnya Bank of America di Amerika Serikat, State Bank of India (SBI) di India, Royal Bank of Canada (RBC) di Kanada, Banco Bilbao Vizcaya di Argentaria, SA (BBVA) di Spanyol, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd (MUFG) di Jepang, Akbank di Turki, dan Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) di Swedia.
Dilansir dari Forbes dan Bloomberg, beberapa bank di antaranya bekerja sama dengan Ripple untuk mengadaptasi blockchain. Ripple adalah perusahaan teknologi finansial yang merupakan pengembang dari mata uang digital Ripple yang didistribusikan melalui sistem blockchain. Perusahaan yang serupa lainnya adalah Blockstream, Blockstack, Chain, dan Xapo.
”Bank sentral idealnya masuk ke dalam blockchain,” ujar Hendra. Sistem ini mengizinkan bank sentral dapat memantau transaksi secara aktual. Hal tersebut dirasa dapat membantu dalam melacak penipuan dan pencucian uang tanpa menunggu laporan akhir bulan dari bank umum.
Ada beberapa hal yang menjadi tantangan dalam mengaplikasikan blockchain. Menurut Hendra, di antaranya eksplorasi teknologi, pembuktian terbalik keamanan, biaya investasi, dan pengecekan kapasitas investasi bank yang akan bergabung.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, ada keuntungan lain yang dapat diperoleh ketika bank mengaplikasikan sistem tersebut. Transparansi transaksi yang dilakukan membuat tidak perlu identifikasi data dan pelaku lebih lanjut.
”Pengajuan kredit juga menjadi lebih mudah karena tidak perlu mengurus banyak paperwork. Hal ini akan menguntungkan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) karena data transaksi dan aset telah tersedia,” kata Andry.
Hal keamanan tetap perlu menjadi prioritas agar jaminan data tidak akan disalahgunakan tetap ada. Mengenai penolakan atas alasan privasi, Andry menilai, hal tersebut kembali ke keputusan dari masing-masing pemilik rekening.
Tidak perlu ditakuti
Hendra mengatakan, perkembangan teknologi yang begitu canggih tidak perlu ditakuti akan mengganti pekerjaan manusia. Hal ini karena teknologi membantu manusia dalam mengolah data yang banyak dan memutuskan dalam waktu yang cepat.
”Perkembangan teknologi belum semasif itu untuk mengganti pekerjaan manusia,” ujarnya. Ia mencontohkan, perdagangan di pasar saham telah beberapa kali menggunakan kecerdasan buatan yang mampu membuat keputusan dalam mikrodetik. (DD13)