JAKARTA, KOMPAS — Industri kreatif dianggap sebagai sektor penting yang akan berkontribusi besar terhadap perekonomian serta penciptaan lapangan kerja pada masa mendatang. Potensi itu sudah terlihat sejak sekarang.
Ketidaksetaraan perlakuan akses pasar menjadi tantangan terbesar yang bisa menghambat kemajuan industri kreatif. Tantangan ini tidak hanya dialami Indonesia.
Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Endah Wahyu Sulistianti mengemukakan hal tersebut di sela-sela jumpa pers Konferensi Dunia tentang Ekonomi Kreatif (World Conference on Creative Economy/WCCE), Kamis (30/11), di Jakarta. WCCE akan diselenggarakan di Bali pada 4-6 Mei 2018.
Menurut dia, tantangan ketidaksetaraan mencakup beberapa isu. Isu pertama adalah hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk mengurus sertifikat HKI, pelaku industri kreatif masih menemui kesulitan teknis, terutama ke tingkat regional sampai internasional. Tiap-tiap negara memiliki kebijakan berbeda.
Dia mencontohkan kasus di Uni Eropa. Kawasan ini telah menetapkan pengurusan HKI satu pintu di Belgia. Di kawasan lain memiliki kebijakan tidak sama.
”Cakupan perlindungan hak cipta Eropa dan Amerika Serikat ternyata tidak berlaku bagi negara Asia. Ini tentu menjadi persoalan yang masih berkesinambungan dengan pengurusan HKI,” ujar Endah.
Isu kedua adalah pemasaran. Menurut dia, permasalahan yang muncul di dalam isu ini adalah peraturan ekspor dan impor produk ekonomi kreatif.
Isu ketiga menyangkut dukungan permodalan. Di industri kreatif banyak digerakkan oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), seperti dialami subsektor kerajinan. Mereka kerap kali kesulitan memperoleh pinjaman modal bekerja. Lembaga jasa keuangan konvensional, seperti bank, biasanya susah memberikan kredit kepada mereka.
"Perdebatan panjang yang berkembang adalah jaminan untuk syarat menerima pinjaman. Beberapa negara, seperti Singapura, telah memberlakukan kebijakan sertifikat HKI sebagai jaminan memperoleh kredit," kata Endah.
Untuk Indonesia, dia menyebutkan pekerjaan rumah yang terus diselesaikan berkaitan dengan ekosistem atau rantai nilai industri kreatif. Sebagai gambaran, kapasitas tenaga kerja belum memadai, volume produksi kurang, dan strategi pencitraan produk masih lemah.
Mengacu pada hasil riset gabungan antara Badan Pusat Statistik dan Bekraf (2016), ekonomi kreatif berkontribusi sekitar Rp 852 triliun atau 7,38 persen terhadap produk domestik bruto pada 2015. Sektor ini berhasil menyerap sekitar 15,9 juta orang tenaga kerja dan menyumbang nilai ekspor sekitar 19,4 miliar dollar AS.
Adapun di tingkat global, riset Ernst and Young (EY) menyebutkan, industri kreatif dan budaya sudah mencapai nilai 2,3 triliun dollar AS pada 2015. EY menganggap industri ini merupakan bentuk ekonomi nontradisional yang tergolong baru, tetapi memiliki potensi besar.
Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Abdur Rohim Boy Berawi mengatakan, aktivitas ekonomi kreatif tradisional kini mendapatkan aliran pendapatan baru karena pengaruh pemanfaatan teknologi digital. Hal ini terlihat di subsektor aplikasi dan gim.
Beberapa pengusaha yang menyadari pentingnya pemasaran digital mulai masuk mengembangkan aplikasi. Ini mempermudah mereka menggaet transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang yang lebih luas jangkauannya. Alibaba, misalnya.
Pada saat bersamaan, Abdur mengatakan, pihaknya akan menyelenggarakan Festival Kinerja Bekraf yang berlangsung tanggal 7-10 Desember 2017 di Bandung Creative Hub dan Gudang Penyimpanan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Cikudapateuh. Festival ini menurut rencana menampilkan pencapaian program enam deputi Bekraf selama tiga tahun, pameran produk kreatif binaan Bekraf, dan diskusi.
Sebelumnya, Kepala Bekraf Triawan Munaf menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman pengerjaan proyek film Tsunami antara Shinework Pictures China dan Goshen Media Indonesia. Proyek ini melibatkan kerja sama bilateral antara China dan Indonesia.
Dia mengemukakan, proyek tersebut adalah salah satu wujud konkret pertemuan Pejabat Tinggi Ketiga atas Hubungan Antarmasyarakat Indonesia-China yang menghasilkan rencana kerja sama aksi tiga tahun (2018-2020) di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, di Solo, Selasa (28/11). Model produksi film bersama seperti itu diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan industri di Indonesia.
”Indonesia bisa belajar dari China yang industri filmnya sudah maju, baik dari sisi produksi maupun teknologi,” kata Triawan.