Hilirisasi Perlu Terus Didorong
JAKARTA, KOMPAS — Tren peningkatan harga komoditas mentah mulai menguat. Salah satu faktor pendorong tren ini adalah perbaikan ekonomi China. Kendati begitu, pemerintah dan pelaku usaha diharapkan tidak kembali terlena dan tetap mendorong hilirisasi industri berbasis komoditas.
Menurut ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual, di Jakarta, Rabu (15/11), pekan ini harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) naik dari 300 dollar AS-400 dollar AS per ton menjadi 600 dollar AS-700 dollar AS per ton. Sementara harga batubara pulih ke kisaran 80 dollar AS-90 dollar AS per ton dari sebelumnya di posisi 40 dollar AS-50 dollar AS per ton.
Perkembangan harga ini diikuti dengan mulai menggeliatnya perekonomian di daerah-daerah penghasil komoditas, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Namun, pelaku usaha di sana juga masih terkendala masalah permodalan untuk kembali meningkatkan usaha.
"Mereka masih harus menyelesaikan kredit macet. Ada juga yang harus reinvestasi karena tambang-tambang mereka terbengkalai sejak harga komoditas jatuh. Ada juga yang mau ekspansi, tetapi masih khawatir harga kembali jatuh," katanya.
Menurut David, harga komoditas yang sempat terpuruk diperkirakan akan pulih. Hal itu akan ditopang juga oleh proyek besar Jalur Sutera Baru di China. Proyek pembangunan infrastruktur yang menyambungkan sekitar 60 negara itu diperhitungkan menyedot bahan baku komoditas yang besar.
"Jangan sampai kembali mengandalkan komoditas. Ingat, pada 2004-2008, harga komoditas tinggi. Hal itu tidak lepas dari pembangunan infrastruktur di China. Jangan sampai pasca-pembangunan Prakarsa dan Sabuk Jalan (One Belt One Road Initiative) selesai, harga komoditas kembali terpuruk," ujarnya.
Pemerintah dan pelaku usaha diharapkan tetap berkomitmen merealisasikan hilirisasi industri. Hilirisasi ini tidak hanya mendesak bagi sektor pertambangan, tetapi juga komoditas unggulan lain di sektor pertanian dan perkebunan, seperti cokelat, kopi, karet, dan produk-produk turunan CPO.
"Likuiditas perbankan saat ini cukup besar sehingga bisa diarahkan tidak hanya untuk membiayai infrastruktur, tetapi juga untuk hilirisasi produk-produk tersebut," katanya.
Surplus
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2017 tercatat surplus sebesar 900 juta dollar AS. Total nilai ekspor Oktober sebesar 15,09 miliar dollar AS, sedangkan impor sebesar 14,19 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Oktober 2017 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya tercatat surplus 11,78 miliar dollar AS. Nilai ini disumbang oleh surplus pada sektor nonmigas sebesar 18,45 miliar dollar AS, sedangkan sektor migas tercatat mengalami defisit sebesar 6,66 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, peningkatan ekspor masih ditopang oleh sektor nonmigas yang berkontribusi sebesar 90,70 persen dari total nilai ekspor. Komoditas yang berkontribusi besar adalah lemak dan minyak hewan/nabati (15,21 persen) serta bahan bakar mineral (13,64 persen).
Di sisi lain, impor memang naik secara signifikan. Kontribusi paling besar dibentuk oleh impor bahan baku/penolong, yaitu sebesar 70,89 persen dari total nilai impor.
"Impor bahan baku/penolong itu mengindikasikan industri mulai menggeliat. Hingga akhir tahun nanti, geliat industri ini diharapkan dapat menjadi penggerak perekonomian nasional," ujarnya.
Suhariyanto menambahkan, pangsa ekspor nonmigas Indonesia terbesar pada Januari-Oktober 2017 adalah China, yaitu senilai 16,91 miliar dollar AS (13,47 persen). Adapun pangsa pasar terbesar setelah China adalah Amerika Serikat sebesar 14,21 miliar dollar AS (11,32 persen) dan Jepang 11,89 miliar dollar AS (9,47 persen).
Di sisi lain, impor terbesar Indonesia juga berasal dari China, yaitu senilai 27,98 miliar dollar AS (26,12 persen). Kemudian, secara berturut-turut disusul Jepang senilai 12,37 miliar dollar AS (11,55 persen) dan Thailand 7,64 miliar dollar AS (7,13 persen).
"Neraca perdagangan Indonesia dengan China masih defisit sebesar 11,7 miliar dollar AS pada Januari-Oktober 2017," kata Suhariyanto. (HEN)