Bank Sentral AS Punya Nakhoda Baru, Bagaimana Dampaknya kepada Indonesia?
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, akan memiliki gubernur baru, yakni Jerome Hayden Powell, yang dipilih Presiden AS Donald Trump pada Kamis (2/11) waktu setempat. Powell akan resmi menjadi Gubernur The Fed setelah mendapat persetujuan Senat AS. Lantas, bagaimana dampaknya kepada Indonesia?
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono memperkirakan, ke depan, tidak akan banyak perubahan dalam kebijakan bank sentral AS. Sebab, saat penunjukan Powell oleh Trump, presiden negeri ”Paman Sam” itu memerintahkan untuk melanjutkan kebijakan Gubernur The Fed saat ini, Janet Yellen.
”Saya kira, Powell tidak akan jauh dari Yellen. Selain karena perintah Trump untuk melanjutkan kebijakan Yellen, Powell tidak punya alasan untuk tiba-tiba mengubah drastis arah kebijakan The Fed,” ujar Tony yang dihubungi Jumat (3/11).
Kebijakan Yellen yang akan dilanjutkan adalah meningkatkan tingkat suku bunga secara bertahap. Perekonomian AS kini sedang membaik. Tingkat pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal ketiga tahun ini mencapai 3 persen. Tingkat pengangguran AS mencapai 4,2 persen atau yang terendah dalam 16 tahun terakhir. Inflasi pada September sebesar 2,2 persen.
Meski demikian, seperti halnya Yellen, Powell tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga The Fed yang saat ini berada di kisaran 1-1,25 persen. Sebab, Powell cenderung bersikap dovish atau berhati-hati dan tidak mau ambil risiko.
Tingkat pengangguran AS mencapai 4,2 persen atau yang terendah dalam 16 tahun terakhir. Inflasi pada September sebesar 2,2 persen.
Dengan demikian, Tony memperkirakan, tidak akan banyak perubahan yang bakal terjadi di Indonesia. Tekanan terhadap rupiah yang bakal terpicu oleh kenaikan tingkat suku bunga masih belum akan terjadi.
Di sisi lain, indikator ekonomi Indonesia memang masih kuat. Cadangan devisa Indonesia sampai dengan September mencapai 129,40 miliar dollar AS (Rp 175,49 triliun) dan neraca perdagangan sampai dengan September juga surplus sebesar 1,76 miliar dollar AS (Rp 23,76 triliun).
”Kita perlu tetap antisipatif dan perhatian pada kebijakan ekonomi AS. Namun, rasanya tidak bakal ada kejutan kebijakan yang signifikan ke depan,” lanjut Tony.
Bukan sosok asing
Seperti diberitakan Reuters, pada Kamis (2/11) waktu Amerika Serikat, Presiden Donald Trump menunjuk Jerome H Powell menjadi Gubernur The Fed menggantikan Janet L Yellen yang jabatannya akan selesai pada Februari 2018.
Ia menyisihkan kandidat lain, seperti Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gary Cohn, ekonom Stanford University John Taylor, dan mantan Gubernur Fed Kevin Warsh. Termasuk Yellen yang juga masuk daftar Trump untuk dinominasikan menjabat di periode kedua.
”Saya yakin, Jay adalah pejabat yang tepat untuk Federal Reserve. Kepemimpinannya akan dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang,” ujar Trump, yang memanggil Powell dengan nama panggilannya, Jay, saat memperkenalkannya di Gedung Putih.
Powell bukan sosok asing di bank sentral AS itu. Sejak Mei 2012, Powell telah menjabat anggota dewan gubernur. Sebelumnya, dia pernah bekerja di lembaga think-tank Bipartisan Policy Center selama dua tahun sejak 2010 dan bekerja di sejumlah lembaga keuangan, seperti Global Environment Fund, The Carlyle Group, dan Bankers Trust.
Meski menghabiskan banyak waktu berkarier di lembaga keuangan, Powell sejatinya tidak memiliki gelar ekonomi. Gelar sarjana Powell adalah politik dari Princeton University pada 1975 dan gelar hukum dari Georgetown University pada 1979.