JAKARTA, KOMPAS — Direktur Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deendarlianto mengatakan, krisis energi yang membayangi Indonesia disebabkan salah satunya oleh tidak dilaksanakannya amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Ketergantungan negara terhadap impor untuk pemenuhan energi terbilang riskan.
”Sangat berisiko jika sebuah negara bergantung pada impor untuk pemenuhan energinya. Indonesia sudah mulai mengimpor minyak sejak 2004 dan saya menyebutnya kita dalam situasi krisis energi karena kebutuhan lebih besar dari kemampuan produksi di dalam negeri,” kata Deendarlianto, Senin (18/9), saat dihubungi dari Jakarta.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, lanjut Deendarlianto, ada amanat untuk merealisasikan cadangan strategis, cadangan penyangga, dan cadangan operasional. Saat ini, Indonesia hanya bergantung pada cadangan operasional milik PT Pertamina (Persero). Cadangan berupa bahan bakar minyak tersebut cukup untuk kebutuhan 20-22 hari saja.
”Kita tidak memiliki cadangan strategis dan cadangan penyangga. Bila dalam keadaan darurat, seperti perang atau bencana alam, ketahanan energi di Indonesia bisa terganggu,” ujar Deendarlianto.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, cadangan strategis adalah cadangan energi untuk masa depan atau jangka panjang. Adapun cadangan penyangga adalah jumlah ketersediaan energi yang disimpan secara nasional untuk kebutuhan dalam kurun waktu tertentu.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, pada 2020 permintaan minyak dan gas bumi (migas) nasional akan mencapai 2,6 juta barrel setara minyak per hari (BOEPD). Sementara itu, kemampuan pasokan di dalam negeri sebanyak 2,2 juta BOEPD. Defisit migas kian melebar pada 2050 di mana permintaan mencapai 5,3 juta BOEPD, sedangkan kemampuan pasokan hanya 535.000 BOEPD.