Pembangunan Rumah Layak Huni Hadapi Kendala Lahan dan Infrastruktur
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rumah layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah memiliki beberapa kendala seperti keterbatasan lahan dan belum terintegrasinya infrastruktur dengan daerah perumahan. Karena itu, perlu beberapa pembenahan agar target program Satu Juta Rumah tercapai pada tahun 2017.
Hal itu mengemuka dalam forum diskusi MarkPlus Center for Public Services dengan tema "Rumah Layak Huni: Capaian & Kendala" di Eighty Eight Tower Kasablanka, Jakarta, Selasa (5/9). Acara itu menghadirkan pembicara Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Budi Hartono, Country General Manager rumah123.com Ignatius Untung, dan Manajer Umum Gunas Land.
“Salah satu permasalahan perumahan di Indonesia adalah infrastruktur belum direncanakan, tetapi sudah dibangun perumahan,” kata Lana Winayanti. Menurut dia, ketiadaan akses jalan dan kendaraan umum membuat masyarakat ragu untuk membeli rumah layak huni.
Untuk menjaga kualitas rumah sejahtera, Budi Hartono memaparkan beberapa langkah yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah menerapkan sanksi secara tegas pada pengembang yang membangun tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. “Sanksinya adalah melarang perusahaan-perusahaan yang bermasalah dalam proyek lain. Tidak hanya perusahaannya, tetapi juga pengurusnya,” ujar Budi.
Yang kedua, dilakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat tentang rumah layak huni. Yang ketiga, meningkatkan peran Pemda dalam pembangunan rumah layak huni. Budi memberi contoh Pemda Jawa Tengah yang tidak begitu saja memberi izin pada pengembang untuk membangun rumah, tetapi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan infrastruktur di sekitar perumahan.
Ignatius Untung mengapresiasi upaya pemerintah dalam menggarap segmen kelas bawah perumahan. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah juga menggarap segmen menengah. “Bagus jika segmen bawah didukung pemerintah, tetapi menurut saya, kita tidak bisa berhenti di sana karena yang tengah bisa terjepit akibat tidak mendapatkan bantuan. Segmen bawah didukung, segmen atas sudah mampu beli, tetapi yang tengah hanya menjadi penyewa. Jika segmen tengah tidak didukung, nantinya hal itu juga akan menaikkan semua harga,” ucapnya.
Ignatius menjelaskan, masalah kelas menengah terjadi karena masyarakat belum teredukasi dengan baik tentang pembelian properti. Menurut dia, ada kecenderungan gaji tidak digunakan untuk membeli rumah dulu, tetapi untuk membeli barang-barang konsumsi.
Edward Kusma memberi gambaran risiko pembangunan permukiman. Saat banyak rumah bersubsidi dengan anggaran terbatas seperti Rp 120 juta, efeknya adalah infrastruktur seperti jalan dan drainase yang dibangun menjadi terbatas.
Menurut Edward, lima tahun lagi tempat itu dapat menjadi kumuh dan pemerintah harus turun tangan. “Menurut saya, mulai sekarang kita seharusnya hanya membangun rusun,” ucap Edward. Rusun lebih sedikit menghabiskan lahan dan tidak memerlukan banyak infrastruktur. Rusun yang dimaksud adalah rusun bertingkat rendah. (DD02)