Transaksi Pun Bisa Pakai Bagian Tubuh
Seminggu terakhir ini, terkait sistem pembayaran nontunai di negeri ini, setidaknya ada dua kejadian yang terasa ironi. Lebih dari 8.000 anjungan tunai mandiri (ATM) di seluruh Indonesia tidak bisa beroperasi karena kerusakan pada satelit Telkom 1. Gangguan bukan hanya dialami ATM BCA, misalnya, tetapi juga bank lain, seperti BNI, Bank Mandiri, BTN, dan BRI. Namun, ATM BCA yang paling banyak terdampak gangguan satelit.
Kerusakan satelit itu diperkirakan Direktur Utama PT Telkom Indonesia Alex Sinaga, seperti saat jumpa pers di Grha Merah Putih Telkom, Jakarta, Senin (28/8) lalu, akan terselesaikan pada 10 September mendatang. Tidak hanya perbankan, tetapi layanan 63 pelanggan yang memakai satelit Telkom 1, termasuk layanan pemerintah dan layanan publik, juga terganggu dengan kerusakan itu. Bagi sebagian besar warga, gangguan ATM itu menyulitkan sebab mereka tak bisa lagi mengambil uang tunai di mana saja ada ATM.
Di Indonesia, seperti di negara lain, ATM sebenarnya bukan hanya untuk mengambil atau menyetor uang tunai. ATM sudah terintegrasi dengan layanan perbankan lain sehingga bisa digunakan untuk transaksi lain, seperti membayar berbagai tagihan, transfer dana, mengisi ulang kartu elektronik, dan fungsi lainnya yang bersifat nontunai. Namun, sebagian besar penduduk Indonesia masih memakai uang tunai untuk transaksi kesehariannya sehingga ketika ribuan ATM mengalami gangguan seperti terjadi bencana keuangan saja.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, tahun 2015 transaksi secara tunai di negara ini masih mencapai 89,7 persen. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, 2014, yang menunjukkan transaksi secara tunai di Indonesia mencapai sekitar 95 persen. Pada akhir tahun 2016, BI mencatat, untuk ritel saja transaksi yang menggunakan uang tunai masih mencapai 42 persen. BI mendorong tahun 2017 ini transaksi nontunai di bidang ritel di Indonesia bisa mencapai 80 persen atau transaksi yang masih menggunakan uang tunai tinggal kurang dari 20 persen.
Data statistik sistem keuangan Indonesia BI pada akhir November 2016 menunjukkan, uang kartal (kertas dan logam) yang beredar di Indonesia mencapai Rp 567,39 triliun, meningkat 7,74 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sekitar 83 persen uang kartal itu ada di tangan masyarakat, atau senilai Rp 476,85 triliun, dan hanya sekitar 17 persen yang berada di tangan perbankan. Ini menunjukkan, betapa penduduk Indonesia masih mengandalkan uang tunai dalam transaksinya.
Tol pun tunai
Ironi sistem pembayaan di Indonesia seminggu terakhir terjadi karena ketika ribuan ATM terganggu fungsinya dan tak bisa digunakan untuk bertransaksi, pemerintah sedang menggalakkan pemakaian nontunai dalam bertransaksi di jalan tol. Selama ini, mayoritas pengguna jalan tol di negeri ini masih menggunakan uang tunai dalam transaksinya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, hingga pertengahan tahun 2017 baru sekitar 30 persen transaksi di jalan tol yang memakai nontunai.
BI sebenarnya sudah sejak tahun 2014 mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Gubernur BI Agus DW Martowardoyo dan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, serta Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Institusi dan pegawai pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat didorong lebih banyak menggunakan transaksi nontunai dalam kesehariannya. Transaksi keuangan nontunai dinilai lebih aman, mudah, efisien, terkontrol, dan terbuka.
PT Jasa Marga, sebagai pengelola sebagian besar ruas jalan tol di Indonesia, mendukung gerakan menggunakan nontunai, khsususnya di jalan tol. PT Jasa Marga mencatat, pembayaran pemakaian jalan tol secara nontunai bisa menjadi solusi memangkas waktu antrean di pintu tol karena saat ini transaksi di pintu tol dengan menggunakan uang tunai membutuhkan waktu rata-rata 9 detik per transaksi. Kendaraan pengguna jalan tol di Indonesia mencapai sekitar 2,2 juta mobil per hari. Jika transaksi di pintu tol menggunakan kartu e-toll atau secara nontunai, waktu yang dibutuhkan rata-rata tak lebih dari 4 detik per transaksi.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, setelah bertemu dengan Gubernur BI Agus DW Martowardojo di Jakarta pada Mei lalu, memastikan, seluruh transaksi di pintu tol di Indonesia pada Oktober tahun ini akan dilakukan secara nontunai. Langkah inipun didukung Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya mencanangkan pemberian bantuan kepada warga kurang mampu, secara nontunai pula. Warga diberikan kartu yang bisa dipergunakan layaknya kartu ATM.
PT Jasa Marga menyambut peluang yang disodorkan pemerintah itu dengan menyiapkan sarana pembayaran elektronik berupa 466 Gerbang Tol Otomatis (GTO). Selain itu, 536 gardu tol yang melayani transaksi tunai milik Jasa Marga selama ini juga akan dilengkapi dengan sarana untuk bertransaksi nontunai sehingga 100 persen transaksi di pintu tol di Indonesia pada 31 Oktober 2017 nanti sudah nontunai.
Tentu saja kerja sama dengan perbankan harus lebih diintensifkan oleh PT Jasa Marga karena data BI menunjukkan, hingga Mei 2017 baru sekitar 23 persen transaksi di pintu tol yang menggunakan kartu atau secara nontunai. Apalagi, belum semua produk uang elektronik yang dikeluarkan bank-bank di Indonesia bisa digunakan untuk bertransaksi di pintu tol. Belum lagi, jika jaringan layanan perbankan nontunai, seperti melalui ATM pun acap kali mengalami gangguan, tentu minat masyarakat untuk bertransaksi secara nontunai akan menurun dengan sendirinya.
Untuk mendorong masyarakat bertransaksi secara nontunai di pintu tol, PT Jasa Marga dan kelompok usahanya sejak 28 Agustus lalu mencanangkan program diskon 10 persen. Masyarakat juga bisa menggunakan uang elektronik dari berbagai bank, seperti e-toll dan e-money dari Bank Mandiri, Brizzi (BRI), TapCash (BNI), Blink (BTN), dan Flazz (BCA). Namun, uang elektronik yang berbasis server, seperti aplikasi GoPay, dompetku, dan t-cash belum bisa digunakan.
Robertus (42), warga DKI Jakarta, yang selama ini menggunakan uang elektronik untuk membayar tol mengatakan, dirinya sangat terbantu dengan program diskon itu. Apalagi, PT Jasa Marga bukan kali ini saja memberikan potongan harga bagi pengguna transaksi nontunai di pintu tol. Program itu sebaiknya tak dibatasi waktunya, yakni hanya sampai 3 September 2017 dan terbatas untuk ruas tol di dalam kota Jakarta. Warga perlu diberikan insentif, termasuk dengan potongan harga, agar benar-benar mau berpindah menjadi masyarakat tanpa transaksi tunai (cashless society) walaupun baru terbatas di jalan tol.
Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, transaksi nontunai di Indonesia memang masih tergolong rendah, yakni sekitar 20 persen. Di ketiga negara tetangga itu, nilai transaksi nontunai sudah mencapai lebih dari 80 persen. Rendahnya nilai transaksi nontunai di negeri ini terjadi karena literasi keuangan penduduk Indonesia pun masih rendah. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2016 menunjukkan, tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia hanya 29,66 persen dari keseluruhan populasi. Padahal, tingkat literasi keuangan penduduk Singapura mencapai 96 persen, Malaysia 81 persen, dan Thailand 78 persen.
Bayar pakai tubuh
Untuk mendorong penduduk lebih memilih menggunakan transaksi nontunai dibandingkan tunai, boleh jadi Indonesia perlu belajar dari Swedia. Di negara Skandinavia itu, menurut laporan Sveriges Riksbank atau bank sentral Swedia, lebih dari 90 persen penduduknya sudah memakai transaksi nontunai. Bahkan, tak hanya menggunakan uang elektronik, dilaporkan pada tahun 2015 sekitar 52 persen dari 9,8 juta penduduk Swedia juga bertransaksi menggunakan aplikasi pembayaran Swish. Padahal, aplikasi transaksi itu baru diperkenalkan pada penduduk Swedia tahun 2012. Oleh karena merasa aman, mudah, dan menyenangkan, kini sebagian besar warga Swedia membayar berbagai kebutuhannya dengan mengandalkan telepon pintarnya. Nyaris setiap penduduk negeri kepulauan itu memiliki aplikasi Swish di telepon pintarnya.
Kian sedikitnya warga yang bertransaksi tunai membuat bank di Swedia tak menyimpan uang tunai lagi di kantor cabangnya. Keamanan bank meningkat. Tahun 2014, misalnya, Badan Nasional Swedia untuk Pencegahan Kejahatan melaporkan, 23 kantor bank, dari sekitar 1.600 kantor, yang mengalami tindak kriminal, seperti perampokan dan pencurian. Angka ini merosot 70 persen dibanding dengan 10 tahun lalu.
Melangkah lebih maju, Mattias Hansson, Direktur Operasional Epicenter, pusat pengembangan bisnis digital di Stockholm, menuturkan, sejak 2015 warga Swedia bisa menanam mikrocip di tubuh, seperti dirinya. Mikrocip di telapak tangannya juga berfungsi sebagai alat pembayaran. Kini lebih dari 2.000 orang di Swedia menanam mikrocipitu di tubuh mereka. Mungkin, uang tunai kian cepat hilang di Swedia.
Bagi Hasson, misalnya membayar biaya perjalanan menggunakan bus, dengan cara menempelkan sisi telapak tangannya, atau memasuki kantor dengan menempelkan telapak tangannya, adalah sesuatu yang menyenangkan dan membanggakan. Ia menjadi pusat perhatian karena dia bisa membayar tiket bus, misalnya, dengan bagian tubuhnya.
Terrence dari Singapore Airlines, yang Juni lalu mengunjungi Swedia, mengakui terkagum-kagum dengan perkembangan masyarakat nontunai di negeri itu. Di Singapura masih mudah ditemukan warga membayar sesuatu kebutuhannya dengan menggunakan uang tunai. Namun, di Swedia sangat sulit menemukan warga yang membawa uang tunai atau membayar sesuatu dengan uang tunai sekalipun di kaki lima. Apalagi, bisa melihat seseorang bertransaksi dengan ”hanya” menempelkan bagian dari tubuhnya. Mungkin, inilah gambaran masa depan masyarakat tanpa uang tunai.