JAKARTA, KOMPAS — Kepala Dinas Navigasi Pelabuhan Tanjung Priok Boedhi Setiadjid mengatakan, akan memperkuat radar di perairan Indonesia dengan radar LPI (low probability of intercept). Radar ini istimewa karena buatan anak bangsa.
”Saat ini perairan Indonesia sudah diperkuat VTS (vessel traffic service) di 25 titik. Kami akan memperkuat lagi dengan radar buatan Indonesia ini agar laut kita lebih aman dan keselamatan transportasi terjaga,” kata Boedhi di Jakarta, Selasa (1/8).
Radar ini merupakan buatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Radar sudah diujicobakan di Pelabuhan Merak, Banten, Senin (31/7), dihibahkan secara resmi ke Kementerian Perhubungan. Radar tersebut dihibahkan setelah terbukti keandalan dan kemampuannya selama arus mudik dan arus balik Lebaran 2017.
Radar karya anak bangsa bernama Radar Surveillence Maritime ini mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan radar VTS yang sudah terpasang di seluruh perairan Indonesia.
”Radar ini merupakan generasi keempat yang dikembangan dari radar sebelumnya dan memiliki keandalan tidak bisa dideteksi oleh alat perusak radar. Ternyata setelah diberi kesempatan, anak bangsa bisa membuat radar yang canggih ini,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati saat serah terima hibah radar tersebut di kantor Navigasi Pelabuhan Tanjung Priok.
Dimyati mengatakan, prototipe radar ini menunjukkan kinerja yang baik saat diuji coba di Merak. ”Keberadaannya untuk mendukung keamanan dan pengamanan, mendukung integrasi wilayah, sekaligus kelancaran arus barang,” ujar Dimyati.
Dia menjelaskan, radar generasi I dibuat tahun 2006 hingga 2009, sementara generasi ke-4 dibuat tahun 2015-2016. ”Biayanya tidak sampai Rp 2,4 miliar. Tujuh kali lebih murah daripada harga di luar. Kandungan lokalnya juga sudah di atas 70 persen,” ujar Dimyati.
Kemristek dan Dikti tertarik membuat radar, kata Dimyati, karena bidang transportasi menjadi salah satu dari delapan fokus riset yang ditetapkan. ”Ada delapan bidang fokus yakni pangan dan pertanian, obat dan kesehatan, energi terbarukan, transportasi, advance material, teknologi komunikasi, maritim, serta humaniora sosial,” katanya.
Penetapan delapan bidang riset dilakukan karena anggaran riset nasional hanya Rp 23 triliun atau 0,2 persen per produk domestik bruto. Sementara anggaran riset Malaysia sudah lebih dari 1 persen, bahkan Korea Selatan sudah mencapai 4 persen.
Mengenai kerja sama dengan Kemenhub, Dimyati mengatakan sudah banyak dilakukan. Selain radar untuk lalu lintas laut, Kemristek dan Dikti juga membuat radar untuk lalu lintas udara, pengembangan pesawat N219, dan juga kereta.
Sementara Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo mengatakan, radar ini bisa segera diperbanyak sehingga bisa digunakan di seluruh perairan Indonesia.
”Riset harus bisa berkelanjutan dengan cara membuat yang bisa dijual. Jadi jangan hanya riset saja. Dengan riset, kita tidak lagi membeli produk orang lain dan hanya menjadi bangsa konsumen,” kata Sugihardjo.
Di Amerika, kata Sugihardjo, riset dilakukan di pemerintah lalu diinkubasi di militer baru setelah itu diproduksi massal. ”Kita bisa bekerja sama untuk proses inkubasi. Kita bisa melangkah ke bidang lain, misalnya membuat studi kelayakan kereta cepat. Agar kita bisa belajar dan bisa mandiri,” ujarnya.