logo Kompas.id
EkonomiPembahasan Bakal Dinamis
Iklan

Pembahasan Bakal Dinamis

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan di DPR akan berlangsung dinamis. Indikasi ini muncul dari tanggapan di Komisi XI DPR yang beragam. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan pada 8 Mei 2017. Sejauh ini, pimpinan DPR belum membacakan agenda legislasi tentang perppu tersebut pada rapat paripurna. Sebagaimana prosedur normal, semua agenda legislasi di DPR harus melalui rapat paripurna sebagai pintu pertama. Namun, Komisi XI DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (29/5), dengan agenda meminta penjelasan tentang perppu tersebut.Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng menyatakan, rapat tersebut berkepentingan meminta penjelasan tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2017 kepada Kementerian Keuangan. Meski pimpinan belum membacakan agenda legislasi perppu tersebut pada rapat paripurna, rapat tersebut bisa dilakukan sebagai bentuk pengawasan DPR. Adapun mekanisme legislasinya, lanjut Melchias, tetap akan dijalankan sesuai ketentuan. Mekanisme tersebut berupa pembacaan agenda legislasi perppu dalam rapat paripurna sebagai pintu masuk pembahasan. Kemudian badan musyawarah akan menugaskan Komisi XI untuk membahasnya. Selanjutnya pengambilan keputusan akan dilakukan di rapat paripurna DPR. DPR hanya memiliki dua opsi, yakni menyetujui atau menolak perppu tersebut. Pendapat Dalam wawancara di luar rapat kerja, sejumlah anggota Komisi XI DPR menyatakan pendapat yang berbeda tentang perppu tersebut. Bahkan, dalam satu fraksi yang sama, bisa muncul dua pendapat yang berlawanan.Di dalam rapat kerja, anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Andreas Eddy Susetyo, menyayangkan sikap pemerintah yang tidak pernah mengomunikasikan perppu itu sebelumnya. "Belum pernah dibahas sebelumnya. Tahu-tahu langsung keluar perppu. Itu yang disinggung beberapa anggota. Tidak ada komunikasi politik," kata Andreas. Ecky Awal Mucharam dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan apresiasinya atas perppu tersebut. Namun, ia mempertanyakan Kementerian Keuangan yang pernah mengklaim memiliki data warga negara Indonesia yang menyimpan harta Rp 11.000 triliun di luar negeri. "Dulu, katanya ada data nama, alamat, dan nomor paspor. Pertanyaan saya, ada atau tidak data tersebut," kata Ecky. Johnny G Plate dari Fraksi Partai Nasdem berpendapat, tidak ada kata mundur untuk kepentingan pembukaan data nasabah asing guna kepentingan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI). Namun, untuk nasabah domestik, perlu dibuka diskusi lebih lanjut. "Kalau untuk AEoI, tidak ada kata mundur. Bisa disebut ada kegentingan yang memaksa. Kami dukung dengan catatan perppu tidak sampai mengganggu perekonomian. Oleh karena itu, komunikasi dengan lembaga terkait harus dilakukan dengan baik," kata Johnny. Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, berpendapat, untuk sampai pada pilihan setuju atau tidak, parameternya adalah kegentingan yang memaksa atau tidak. "Presiden menempuh perppu. Berarti parameternya adalah kegentingan yang memaksa. Tak perlu berdebat soal pasal. Apakah kualifikasi kegentingan memaksa itu bisa diterima atau tidak," kata Hendrawan. Sri Mulyani menyatakan, masukan dari DPR akan diakomodasi dalam peraturan menteri keuangan. Meski demikian, ia belum menyebutkan kapan peraturan akan diterbitkan. (LAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000