Jakarta menjadi tempat banyak orang menumpahkan impian. Namun, hal itu sekaligus membawa beragam persoalan. Para seniman menangkap keresahan-keresahan melalui karya yang menggugah Jakarta agar lebih baik di masa depan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi tempat banyak orang menumpahkan impian. Namun, hal itu sekaligus membawa beragam persoalan, mulai dari semakin sempitnya ruang hidup karena kepadatan penduduk, tergusurnya entitas lokal, hingga pencemaran lingkungan. Puluhan seniman menangkap keresahan-keresahan itu melalui karya yang menggugah Jakarta agar lebih baik di masa depan.
Lukisan berukuran 30 sentimeter x 50 cm dengan dominasi warna hitam menyambut pengunjung saat memasuki ruang Annex Gallery di Taman Ismail Marzuki, DKI Jakarta, Jumat (3/6/2022) malam. Gambar sosok manusia yang berlari sambil membawa ikan berukuran besar menjadi obyek utama lukisan yang ditampilkan dalam pameran seni rupa ”Betawi Masa Kini, Masa Gitu?!” tersebut.
Obyek lainnya berupa gambar ikan kecil menelan sikat gigi di bagian pinggir lukisan berjudul ”Ecology Jangan Lupa Yee”. Karya perupa Hagung Sihag itu menjadi salah satu lukisan yang paling menyedot perhatian pengunjung.
”Betul-betul menggambarkan kondisi laut Jakarta saat ini, kotor. Sampah dari darat terbawa ke laut,” ujar Rahmadi (35), pengunjung pameran.
Bagi Rahmadi yang tidak terlalu sering mengunjungi pameran seni, lukisan tersebut mempunyai daya tarik tersendiri. Dominasi warna hitam membuat lukisan itu berbeda dengan kebanyakan lukisan yang kaya warna.
Akan tetapi, tidak sulit baginya mencerna pesan lukisan itu, yaitu tentang pencemaran lingkungan. Ia berharap karya itu bisa menggugah warga dan orang-orang yang menyandarkan hidup di Jakarta untuk lebih peduli menjaga alam.
”Gambar ikan dan goresan cat hitam yang sangat dominan cukup jelas menggambarkan kerusakan ekosistem laut. Tidak perlu banyak narasi untuk menjelaskannya,” katanya.
Pesan yang ditangkap Rahmadi tidak keliru. Hagung memang ingin menyampaikan misi penyelamatan lingkungan lewat lukisan itu. Ia sengaja menyematkan simbol silang pada mata ikan di lukisan itu sebagai tanda kedaruratan.
”Saya enggak mau terlalu cerewet, makanya simbolnya sederhana. Tetapi, tanda silang itu sangat penting menunjukkan emergency tentang kerusakan lingkungan,” katanya.
Hagung menyebutkan, gambar orang di lukisannya merupakan sosok Petruk, tokoh pewayangan. Aktivitas berlari dengan membawa ikan menjelaskan pentingnya untuk segera menyelamatkan makhluk hidup di laut Jakarta yang tercemar.
Ini sebagai demagog yang membawa optimisme masyarakat Jakarta. Perubahan akan terus berjalan, tetapi Jakarta tidak boleh kehilangan rohnya.
Sosok Petruk sengaja dipakai demi mengingatkan generasi muda mengenai nilai moralitas yang dahulu sering disampaikan lewat pewayangan. Sayangnya, hal ini justru banyak ditinggalkan sehingga perlu digairahkan kembali.
”Wayang pun bisa berbicara tentang ekologi. Hanya berganti peran, tetapi tetap untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan,” katanya.
Lukisan tersebut merupakan satu di antara 40 lukisan dan karya seni instalasi yang dipamerkan selama 3-12 Juni 2022. Setiap karya mempunyai keunikan serta pesan tersendiri mengenai Betawi dan Jakarta.
Lukisan berjudul ”Batang-batang Terakhir #1” karya Adelano Wibowo, misalnya, merepresentasikan perkembangan Jakarta yang sangat pesat. Jakarta berubah menjadi kota simbol modernitas.
Akan tetapi, perkembangan itu membawa sisi lain di mana ruang terbuka hijau berubah menjadi ”hutan beton” karena masifnya pembangunan gedung-gedung bertingkat. Padahal, terus menyusutnya ruang terbuka hijau akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup.
”Halal untuk mengejar kemajuan, tetapi tanpa mengabaikan, merusak yang lemah, dan tetap menjaga, melindungi, dan melestarikan alam ini dengan sebaik mungkin,” tulis Adelano Wibowo dalam deskripsi lukisannya.
Pameran itu juga menampilkan beberapa seni instalasi. Dengan memakai bahan akar wangi, kain, dan lampu LED, Lenny Ratnasari Weichert membuat instalasi dengan menggambarkan kedatangan orang ke Jakarta yang membawa pengaruh besar terhadap keberlangsungan budaya Betawi.
Gambaran Jakarta sebagai kota yang sangat padat dan sibuk dituangkan Asmoadji dalam karya instalasi berjudul ”Menumpuk Menimbangi Sekitar”. Ia membuat beberapa miniatur rumah berbahan tripleks, kayu, bambu, dan seng yang menumpuk di atas pion beton.
Asmoadji mengatakan, karya itu terinspirasi dari kondisi Jakarta saat ini di mana banyak masyarakat pinggiran yang membangun rumah berbahan tripleks, kayu, bambu, dan seng di tengah permukiman padat. Alih-alih menyebutkan sebagai bangunan kumuh, ia justru menilainya sebagai bangunan artistik.
”Pion beton melambangkan kebaruan. Namun, di atas kebaruan itu, tetap akan tumbuh bangunan seperti ini. Di tengah kencangnya pembangunan Jakarta, masih banyak orang terpinggirkan,” katanya.
Akan tetapi, Asmoadji tidak mau mengekang pengunjung dalam maksud pesan tertentu yang ingin disampaikan lewat karyanya itu. Menurut dia, setiap orang punya penafsiran masing-masing dalam merefleksikan Jakarta.
Beberapa pengunjung berpendapat, karya instalasi Asmoadji itu gambaran warga Betawi yang semakin terpinggirkan. Ada juga yang menganggapnya sebagai simbol ketidakadilan pembangunan di Ibu Kota.
”Bisa-bisa saja diartikan seperti itu. Dalam berkarya, aku selalu mencoba untuk melihat kondisi di sekitar. Orang lain mungkin punya pandangan lebih luas,” katanya.
Kegelisahan entitas lokal tergambar dalam instalasi berjudul ”Lokalitas Tertindas Tergilas” karya Dwi Rustanto. Instalasi itu terdiri dari sepatu berbahan busa dan resin dengan warna emas di atas tumpukan arang.
Karya itu menceritakan tentang terimpitnya entitas lokal di antara rimbunnya bangunan kekuasaan dan derap langkah sepatu emas penguasa. ”Akar budaya yang masih bertahan bermetamorfosis dari ranting menjadi pohon, menjadi kayu, berubah menjadi arang. Lalu, entah menjadi apa lagi? Hanya untuk menjadi ada. Aku sebagai akar menolak tercerabut,” tulis Dwi dalam deskripsi karya instalasi itu.
Ketua Pelaksana Pameran ”Betawi Masa Kini, Masa Gitu?!” yang juga Ketua Kilau Art Studio Saepul Bahri mengatakan, pameran itu dipersiapkan dalam waktu sebulan. Seniman diminta mengeksplorasi mengenai Betawi dan Jakarta dari zaman dahulu hingga saat ini dan menuangkannya dalam karya seni.
”Ini sebagai demagog yang membawa optimisme masyarakat Jakarta. Perubahan akan terus berjalan, tetapi Jakarta tidak boleh kehilangan rohnya,” katanya.
Kepala Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ) Taman Ismail Marzuki Verony Sembiring berharap pameran tersebut dapat memacu kegiatan kesenian dan kebudayaan yang sempat sepi selama pandemi Covid-19. Semakin membaiknya pandemi diharapkan menggeliatkan kembali seniman untuk menampilkan karya-karyanya.
”Dengan melonggarnya pandemi (Covid-19) dan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) level 1, kesempatan berpameran sudah sangat besar. Kreativitas tidak boleh mati karena pandemi,” ucapnya.
Pameran seni rupa ”Betawi Masa Kini, Masa Gitu?!” telah merangkum beraneka masalah yang membelit Jakarta. Meski hanya berlangsung sepuluh hari, pameran itu diharapkan tidak sekadar menjadi refleksi sesaat, tetapi menggugah kesadaran bersama untuk tidak merusak alam dan meninggalkan kebudayaan atas nama pembangunan dan modernitas.