Pemuda-pemudi perwakilan 34 provinsi dikenalkan dengan pengetahuan kelautan yang dulu digunakan pelaut Nusantara. Pengetahuan itu dimanfaatkan saat teknologi belum berkembang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
LAUT JAWA, KOMPAS — Pengetahuan lokal soal kelautan kembali diajarkan kepada generasi muda melalui Muhibah Budaya Jalur Rempah. Pengetahuan seperti navigasi dan membaca tanda alam dulu digunakan para pelaut Nusantara.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan mengatakan, pelaut Nusantara membaca tanda alam sebagai pedoman berlayar. Misalnya, angin sebagai penentu arah berlayar. Pengetahuan ini dimiliki pelaut sebelum teknologi navigasi, seperti kompas dan global positioning satellite (GPS), ditemukan.
Pengetahuan tersebut lantas dikenalkan ke Laskar Rempah, generasi muda perwakilan 34 provinsi yang mengikuti Muhibah Budaya Jalur Rempah. Muhibah Budaya merupakan program napak tilas jalur rempah yang berlangsung pada 1 Juni hingga 2 Juli 2022.
Program dilaksanakan dengan berlayar mengunjungi enam titik jalur rempah di masa lalu, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang. Pelayaran dilakukan dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci milik TNI Angkatan Laut.
Komandan KRI Dewaruci Mayor Laut (P) Sugeng Hariyanto mengatakan, nenek moyang Indonesia menggunakan cara konvensional untuk menentukan navigasi kapal, misalnya membaca kondisi geografi. Gunung, daratan, tanjung, serta suar dijadikan titik koordinat posisi mereka. Posisi mereka lantas dipetakan.
Cara itu sekarang jarang digunakan. Dengan perkembangan teknologi, pemetaan kini dilakukan dengan memanfaatkan data citra satelit.
”Bagaimanapun kita harus tahu bagaimana seandainya alat modern tidak berfungsi. Kita kembali ke zaman dahulu saat ilmu-ilmu dasar navigasi sangat penting. Di laut ada istilah navigasi datar dan navigasi astronomi. Navigasi astronomi tidak kita ajarkan ke Laskar Rempah. Tapi, kita tunjukkan bahwa di tengah laut ada bintang di langit yang bisa digunakan untuk menentukan posisi,” ujar Sugeng.
Naskah kuno
Restu mengatakan, sebelum ada teknologi navigasi, pelaut Nusantara mengandalkan tanda alam sebagai pedoman berlayar. Cara ini digunakan pula oleh pelaut Bugis.
”Orang Bugis-Makassar telah mengekspresikan budaya dan kearifan lokal dalam naskah-naskah kuno yang ditulis dengan aksara Lontaraq,” ucap Restu.
Nenek moyang Indonesia menggunakan cara konvensional untuk menentukan navigasi kapal, misalnya membaca kondisi geografi. Gunung, daratan, tanjung, serta suar dijadikan titik koordinat posisi mereka.
Salah satu naskah kuno yang dimaksud adalah Lontaraq Atoreng Toriolo. Naskah tersebut berisi pengetahuan tradisional masyarakat di bidang pelayaran. Naskah yang sama juga memuat catatan tentang navigasi dan tanda alam.
Selain itu, Lontaraq Atoreng Toriolo juga mencatat salah satu versi Hukum Laut Amanna Gappa. Hukum Laut Amanna Gappa ditulis pada abad ke-17, tepatnya tahun 1676. Hukum tersebut, antara lain, mengatur soal pelayaran, perdagangan, hingga pertengkaran dalam pelayaran. Hukum itu mengatur agar siapa pun yang bertikai mesti menyelesaikan perselisihannya sebelum mendarat.
Hukum Laut Amanna Gappa berperan penting dalam menertibkan pelayaran dan perdagangan selama berabad-abad. Adapun hukum tersebut kini digunakan sebagai aturan maritim internasional.
Restu mengatakan, naskah kuno tidak hanya menjadi sumber informasi kondisi sosial dan budaya masyarakat di masa lampau. Naskah juga memuat berbagai peristiwa, tokoh sejarah, hingga peristiwa kemajuan masyarakat. Pengetahuan itu dapat dijadikan referensi untuk memahami kondisi masa kini.
Sebelumnya, edukator Museum Kebaharian Jakarta, Firman Faturohman, berpendapat bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami amnesia kolektif terhadap budaya bahari.
Simpul pudarnya budaya bahari dapat ditarik dari masa penjajahan Belanda. Saat itu, akses masyarakat lokal terhadap laut diputus dan masyarakat digeser ke daratan.