Komunikasi pemerintah di awal pandemi Covid-19 dinilai buruk sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat. Pola komunikasi ini terus dibenahi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunikasi publik menjadi kunci manajemen krisis pandemi Covid-19. Komunikasi yang dilakukan dengan baik membuat masyarakat mampu mengambil keputusan di masa krisis. Pengalaman dua setengah tahun pandemi ini menjadi pembelajaran berharga akan strategi pengelolaan komunikasi bila terjadi krisis di masa mendatang.
Hal ini mengemuka pada seminar nasional ”Respons Komunikasi Publik Pemerintah di Masa Pandemi”, Jumat (3/6/2022). Seminar ini diselenggarakan secara daring oleh Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI).
Peneliti dan staf pengajar ilmu komunikasi UI, Ummi Salamah, mendeskripsikan komunikasi publik sebagai komunikasi strategis karena ada di ruang publik. Tujuannya untuk menyampaikan informasi untuk memengaruhi perilaku audiens. Komunikasi publik juga bersifat dua arah.
Kendati demikian, pada masa awal pandemi, komunikasi publik tidak berjalan optimal. Pemerintah dikritik karena pola komunikasi yang buruk. Misalnya, pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa virus korona tidak masuk sampai Indonesia karena terhalang perizinan, serta pernyataan masyarakat Indonesia kebal virus karena rutin minum jamu.
Di sisi lain, tidak transparannya informasi dan data seputar Covid-19 di awal masa pandemi sempat terjadi. Peraturan pemerintah untuk menghadapi Covid-19 pun sempat berubah-ubah sehingga membingungkan masyarakat.
Hal tersebut tidak hanya membuat publik kesulitan menentukan sikap terhadap Covid-19, tetapi juga menggerus kepercayaan terhadap pemerintah. Menurut hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2020, tingkat keyakinan masyarakat bahwa pemerintah mampu mengatasi pandemi hanya 55,6 persen.
Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI, Happy Indah Nurlita, berdasarkan penelitiannya, mengatakan, salah satu dampak buruknya pola komunikasi pemerintah di awal masa krisis adalah terjadinya panic buying (membeli banyak barang dalam waktu singkat karena panik). Selain itu, muncul stigma negatif di masyarakat terhadap pasien atau tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. Dampak lain adalah sebagian orang mengabaikan risiko penularan.
”Padahal, komunikasi di masa krisis dilakukan untuk menyediakan informasi atas apa yang mesti dilakukan dan dihindari masyarakat, serta untuk mengurangi kecemasan. Komunikasi publik perlu dilakukan secara tepat, konsisten, dan menyesuaikan dengan perubahan situasi krisis,” ucap Happy.
Komunikasi efektif
Pendekatan budaya dapat digunakan agar pesan yang disampaikan selama komunikasi bisa disampaikan dengan efektif kepada audiens. Pada perkembangannya, pemerintah menggunakan cara ini untuk menyampaikan pesan terkait Covid-19.
Menurut Happy, pendekatan budaya yang dimaksud mencakup agama, nilai, bahasa, kesamaan identitas, dan kondisi sosial-ekonomi publik. Contoh komunikasi dari sisi nilai adalah kampanye Ingat Pesan Ibu. Sementara dari sisi agama, pemerintah menggandeng tokoh agama untuk mendorong warga beribadah di rumah dan tidak mudik.
Dari sisi bahasa, pemerintah menggunakan singkatan yang dinilai disukai publik. Itu sebabnya ada istilah, contohnya, 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan OTG (orang tanpa gejala). Bahasa daerah juga digunakan agar publik bisa memahami pandemi, misalnya kata pagebluk.
”Di awal pandemi, Satgas Covid-19 belum membuat profil audiens sehingga satu pesan dianggap bisa diterima semua orang. Seiring berjalannya waktu, mereka sadar bahwa faktor budaya bisa disisipkan agar pesan bisa diterima masyarakat yang beragam,” tutur Happy.
Peneliti dan pengajar Ilmu Komunikasi UI, Ummi Salamah, mengatakan, publik perlu ditempatkan sebagai subyek komunikasi, bukan obyek. Kebijakan yang dibuat pemerintah sebaiknya mewakili suara publik.
”Yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan riset formatif untuk menyusun komunikasi strategis, serta riset evaluatif untuk mengambil lesson learnt dari komunikasi publik yang dilakukan selama ini,” kata Ummi.
Menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, masyarakat belum dilibatkan dalam penyusunan kebijakan pemerintah. Kebijakan rata-rata dibuat oleh generasi X. Padahal, penduduk berusia muda mendominasi di Indonesia.
”tKeputusan diambil dengan cara kami, tetapi yang menerima roda komunikasi adalah anak muda,” katanya. ”Jika pemerintah tidak punya strategi komunikasi dan tidak melibatkan ahli komunikasi ketika menjalankan pemerintahan, akan terjadi kekacauan,” katanya menambahkan.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, tantangan pemerintah untuk menghadapi pandemi tidak mudah. Namun, pemerintah terus berupaya dan bekerja keras. Pemerintah pusat dan daerah juga tidak berhenti menyiapkan dan melaksanakan strategi penanganan pandemi.
”Dengan kerja keras bersama komponen bangsa lainnya dari pusat hingga daerah, pemerintah optimistis mampu mengatasinya. Memang butuh waktu untuk menanganinya dengan usaha ekstra dan kepatuhan serta kedisiplinan yang tinggi seluruh bangsa,” ujar Pramono (Kompas, 28/7/2021).