Bulan Madu Kemerdekaan Pers di Malaysia
Malaysia butuh lembaga yang bisa menaungi media massa, tetapi tak boleh bergantung pada pemerintah (kerajaan) atau di bawah kendali pemerintah. Saat ini hubungan pemerintah dan media sangat baik, seperti bulan madu.
Kehadiran Majlis Media Malaysia tidak memberikan seberang erti dalam usaha untuk menegakkan dan mempertahankan kebebasan media di negeri ini. Majlis Media Malaysia, yang dinaungi oleh bayang-bayang kerajaan, akan dilihat sebagai satu lagi rejim yang mengongkong kebebasan media. (Chamil Wariya, Bisnes Media & Prinsip Jurnalistik, Malaysian Press Institute, Cyberjaya, 2022)
Baca juga : Malaysia Menjamin Kebebasan Pers
Berbicara pada malam penyambutan pimpinan media dari Indonesia, yang tergabung dalam Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) di Putrajaya, Malaysia, Minggu (29/5/2022) malam, Tan Sri Johan Jaaffar mengakui, baru kali ini ada perhatian yang besar dari pemerintah kepada wartawan di Malaysia. Tokoh wartawan negara Malaysia itu berharap kedekatan dan perhatian itu harus dipelihara, tetapi tak boleh mengganggu kemerdekaan media di Malaysia. Bulan madu jangan segera berlalu.
Pesan Tan Sri Johan itu penting untuk dikenangkan, sebab lebih dari dua tahun yang lalu, ia berpesan pula, seperti yang dikutip Chamil Wariya dalam bukunya. Malaysia membutuhkan lembaga yang bisa menaungi media massa di negeri itu, tetapi tak boleh bergantung pada pemerintah (kerajaan) atau di bawah kendali pemerintah. Jika tak mandiri, lembaga itu akan menjadi bagian dari penguasa yang bisa menekan kemerdekaan pers. Lembaga yang digagas menjadi Majlis Media Malaysia itu, seperti Dewan Pers di Indonesia—dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers—relatif independen.
Padahal, media massa di Negeri Jiran itu bertumbuh lebih dari 215 tahun, dimulai dengan lahirnya penerbitan Prince of Wales Island Gazette di Pulau Pinang tahun 1806. Namun, hingga hari ini Malaysia juga belum memiliki satu pun organisasi wartawan yang bertaraf nasional. Hari Wartawan Nasional (Hawana) juga baru ditetapkan pada tahun 2018 setelah dilahirkannya Deklarasi Hawana 2017/2018.
Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, pun menyetujui penetapan tanggal 29 Mei sebagai Hawana. Tanggal kelahiran Utusan Melayu itu dipilih sebab surat kabar itu menjadi perwujudan nyata kemandirian rakyat Malaysia, khususnya warga Melayu, dalam mengembangkan media massa secara mandiri di negerinya. Utusan Melayu menjadi surat kabar nasional pertama di Malaysia.
Baca juga: Lezatnya Persaudaraan Indonesia-Malaysia
Saya akui bahawa profession kewartawanan harus kekal bebas dan berfungsi tanpa gangguan dan campur tangan pihak lain bagi menjamin kebebasan bersuara di negara ini.
Berbeda dengan Indonesia, yang sudah merayakan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari setelah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tertanggal 23 Januari 1985. Tanggal itu dipilih bertepatan dengan hari kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang terbentuk pada 1946 di Surakarta, dan menjadi organisasi wartawan pertama di Indonesia. Anggota PWI juga terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pergolakan politik dan pandemi Covid-19 membuat peringatan Hawana tidak dapat dilaksanakan. Baru tahun ini, di Melaka, Minggu (29/5/2022), peringatan Hawana kembali digelar dengan dihadiri PM Ismail Sabri Yaakob dan sejumlah pemimpin media massa Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami). Paguyuban yang dibentuk tahun 2007 ini pula yang mendorong lahirnya Hawana dan berbagai kebijakan untuk memajukan kemerdekaan pers di Malaysia.
”Saya akui bahawa profession kewartawanan harus kekal bebas dan berfungsi tanpa gangguan dan campur tangan pihak lain bagi menjamin kebebasan bersuara di negara ini. Kerajaan tidak pernah menghalang media daripada menyiarkan sebarang laporan berita yang adakala dijadikan panduan pihak berwajib untuk mengambil tindakan susulan seperti bertindak menyalurkan bantuan untuk kesejahteraan keluarga Malaysia,” ujar PM Ismail Sabri saat meresmikan peringatan Hawana 2022, yang sekaligus menegaskan kembali jaminan kemerdekaan bagi media massa di Malaysia.
Tak hanya memberikan jaminan, PM Ismail Sabri yang baru menjabat pada 21 Agustus 2021 itu juga memberikan dukungan nyata, sebesar RM 1 juta (sekitar Rp 3,3 miliar) bagi pembentukan organisasi wartawan Malaysia serta peningkatan profesionalisme dan kompetensi wartawan di negeri itu. ”Jika kurang, masih boleh menambah,” ungkapnya, yang disambut tepuk tangan ratusan peserta Hawana. Ia juga meminta dukungan Iswami untuk melahirkan organisasi wartawan dan wartawan yang baik di Malaysia, termasuk dengan membangun kerja sama dengan negara lain di Asia Tenggara.
Baca juga : Kemerdekaan Pers di Dunia Terancam
”Bagi mendukung standard dan menaikkan tahap profesionalisme kewartawanan negara, saya suka menyarankan supaya satu inisiatif dimulakan ke arah menubuhkan sebuah Pusat Kajian Kewartawanan Malaysia. Pusat kajian ini boleh mengumpul data rujukan melibatkan semua bentuk kajian yang dilakukan ke arah memantapkan disiplin kewartawanan di Malaysia. Ia juga boleh melibatkan interaksi dengan pelbagai bidang kemasyarakatan lain merentasi konteks budaya yang berbeza. Saya berharap pusat tersebut dapat dimanfaatkan oleh golongan akademik dan penyelidik menjalankan kajian sejarah serta perjalanan bidang kewartawanan di Malaysia dan juga di Nusantara,” imbuh PM Malaysia lagi.
Peringatan Hawana 2022 ditandai dengan pembacaan Deklarasi Melaka 2022, yang memastikan wartawan (media) di Malaysia merupakan organ di negara yang menjunjung tinggi martabat dan integritas, mengutamakan kerukunan negara, dan memerangi berita palsu.
Saya suka menyarankan supaya satu inisiatif dimulakan ke arah menubuhkan sebuah Pusat Kajian Kewartawanan Malaysia. Pusat kajian ini boleh mengumpul data rujukan melibatkan semua bentuk kajian yang dilakukan ke arah memantapkan disiplin kewartawanan di Malaysia.
Langkah masyarakat pers Malaysia yang memperoleh dukungan nyata pemerintah, setidak-tidaknya dalam setahun terakhir, untuk terus mengembangkan kemerdekaan pers di negeri itu diakui oleh komunitas internasional pula. Di kawasan Asia Tenggara, hasil pemeringkatan Indeks Kemerdekaan Pers Dunia 2022 yang disampaikan Reporters without Borders/Reporters sans Frontières (RSF), Selasa (3/5/2022), bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, menunjukkan peningkatan yang luar biasa bagi Malaysia. Kebebasan pers di Indonesia masih lebih buruk dibandingkan Timor Leste yang berada di urutan ke-17 dari 180 negara yang dinilai.
Indonesia kini berada di urutan ke-117, di bawah Malaysia yang tahun 2022 naik ke peringkat ke-113, diikuti Thailand (peringkat ke-115). Tahun 2021, RSF masih menempatkan Indonesia di urutan ke-113, di bawah Timor Leste saja, yang saat itu berada di peringkat ke-71. Malaysia berada di peringkat ke-119. Sejak Januari 2022 hingga kini, RSF mencatat tak ada wartawan yang terbunuh, terluka, atau dipenjara di Malaysia, meskipun terdapat perundang-undangan keras yang membatasi kemerdekaan pers di Malaysia. Di sisi lain, masyarakat madani yang dinamis dan keberagaman di Malaysia memberikan dukungan penuh pada lahirnya kemerdekaan pers.
Sebagai keluarga serumpun, seperti yang selama ini terjadi, pimpinan media di Indonesia, seperti dikatakan Koordinator Iswami Indonesia Asro Kamal Rokan dan Koordinator Iswami Malaysia Datuk Mochtar Hussain, pun bersepakat untuk terus bersama belajar dan mengembangkan kemerdekaan pers di kedua negara. Media di Malaysia dan Indonesia harus terus berkembang dalam kemandiriannya.
Wartawan di kedua negara pun bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan melalui berbagai kegiatan bersama sehingga melahirkan sosok wartawan yang andal, selain organisasi kewartawanan yang independen dan bermartabat.