Pengenalan tari tradisional sejak dini dapat membentuk karakter anak. Selain itu, pemahaman anak terhadap seni budaya pun dapat tumbuh.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tari tradisional penting dikenalkan sejak dini karena dapat membentuk karakter anak. Selain itu, kaum muda diharapkan paham budaya dan mampu mengembangkannya di era modern tanpa kehilangan akar budayanya.
Menurut pendiri yayasan Taksu Tridatu di Bali, I Wayan Karta, Sabtu (28/5/2022), seni merupakan salah satu media pengajaran budi pekerti pada anak. Berkesenian juga membentuk karakter anak, seperti kesabaran, keberanian, dan kemampuan bekerja sama dalam tim. Seni, seperti tari tradisional, juga merupakan warisan leluhur yang mesti dilestarikan.
Kendati demikian, pelestarian tari tradisional tidak selalu lancar. Ragam tarian baru, gim daring, hingga berbagai hiburan lain muncul di era modern. Hal tersebut dianggap lebih menarik dibandingkan dengan belajar tari tradisional bagi sebagian kaum muda.
Sejumlah upaya dilakukan untuk menjaga kelestarian tari tradisional. Pemerintah Provinsi Bali, misalnya, mengadakan Festival Seni Bali Jani untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai seni budaya Bali modern. Generasi muda turut serta dalam festival ini.
”Selain itu, ada sekitar 10.000 sanggar di Bali. Keberadaan sanggar membantu menjaga eksistensi tari tradisional Bali,” kata Wayan. ”Ada juga 1.493 desa adat yang membentengi kelestarian seni, budaya, dan adat Bali,” tambahnya.
Walau tari tradisional dapat tergerus modernitas, Wayan yakin tari Bali masih bisa eksis. Sebab, leluhur berupaya menjaga eksistensi tari tradisional dengan memaksimalkan fungsi tiga genre tari Bali.
Kecintaan terhadap budaya adalah dasar agar individu tidak terseret arus modernitas.
Genre pertama adalah tari wali, yaitu tarian sakral yang hanya dipentaskan di halaman utama pura pada upacara keagamaan besar. Kedua, tari bebali, yakni tarian sakral penunjang jalannya upacara. Tari ini dipentaskan di halaman tengah pura.
Ketiga, tari balih-balihan, yakni tarian yang sifatnya menghibur dan dapat dipentaskan di lokasi wisata atau saat hajatan. Contoh tarian genre balih-balihan adalah janger, kecak, dan legong.
Pamong Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Dyan Indah Purnama Sari mengatakan, kecintaan terhadap budaya adalah dasar agar individu tidak terseret arus modernitas. Individu yang terseret arus tanpa mengenal identitasnya sebagai orang Indonesia dikhawatirkan bakal kehilangan jati diri. Adapun identitas kebangsaan bisa digali dari seni budaya.
Menggali kembali memori bangsa melalui seni budaya dinilai penting agar generasi muda tidak jadi generasi yang lepas dari sejarah. Ini juga agar mereka tetap terhubung dengan nenek moyang dan tradisi.
”Sesuai gagasan Ki Hajar Dewantara, kita dapat bersikap konsentris, yakni mengadaptasi budaya lain tanpa menghilangkan jati diri kita. Kita bisa membawa tradisi kita untuk berkolaborasi dan membaur (dengan tradisi lain), kemudian hidup berdampingan dengan budaya global,” tutur Dyan.
Menurut dosen sendratasik Universitas Negeri Gorontalo, Riana Diah Sitharesmi, tari tradisional dapat dieksplorasi dan dikembangkan menjadi berbagai karya baru, baik tari kontemporer maupun teater. Ini agar seni tradisional tetap hidup di masyarakat.
Namun, pelaku seni tetap mesti belajar dasar tari tradisional dan menguasainya. Mereka juga perlu memahami makna dan filosofi tari tersebut.
”Di sisi lain, mereka dipersilakan punya idealismenya sendiri sehingga pemahaman mereka (terhadap dunia) jadi kaya,” kata Riana. ”Pemahaman akan tradisi dan akar budaya diharapkan jadi ’benteng’ bagi keliaran wacana di luar.”
Ia menambahkan, perkembangan zaman adalah keniscayaan. Generasi senior bertanggung jawab menanamkan akar tradisi ke memori generasi muda. Ini sebagai fondasi karakter manusia Indonesia yang paham kebudayaan dan mampu menempatkan diri di era globalisasi.