Mengoptimalkan Potensi Anak Muda dalam Mitigasi Bencana
Bencana membawa dampak besar bagi anak-anak. Karena itu, mereka perlu dilibatkan dalam berbagai program untuk mengurangi risiko bencana. Kreativitas dan ide-ide anak-anak muda bisa mendukung pengurangan risiko bencana.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan dilanda berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam, seperti pandemi Covid-19. Bahkan, Indonesia berada dalam cincin api Pasifik yang merupakan wilayah paling rawan bencana di dunia, seperti banjir, tsunami, letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, dan kekeringan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, sekitar 150 juta orang tinggal di daerah rawan gempa, 60 juta orang di daerah rawan banjir, 40 juta orang di daerah rawan longsor, 4 juta orang di daerah rawan tsunami, dan 1,1 juta orang di daerah rawan letusan gunung berapi.
Sepanjang tahun 2021 terdapat 5.402 kejadian bencana di Indonesia, dengan 3.000 peristiwa bencana yang berdampak atau mengungsikan 8 juta orang, termasuk 2,3 juta anak. Adapun anak-anak dan remaja termasuk dalam kelompok rentan dan paling terpukul oleh bencana dan dampak perubahan iklim.
Bencana tidak hanya mengancam keselamatan dan berpotensi krisis pangan, tetapi juga memaksa keluarga meninggalkan rumah dan hidup di pengungsian sehingga meningkatkan risiko konflik dan keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Keluarga yang menjadi korban menghadapi kondisi kehilangan mata pencarian serta berbagai gangguan dan keterbatasan, antara lain pendidikan dan akses air bersih, sanitasi dan kebersihan, kesehatan dan gizi, serta layanan perlindungan anak. Belum lagi risiko eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan yang rawan menimpa anak-anak korban bencana.
Karena itu, sejak usia dini, membangun kesadaran anak-anak untuk berpartisipasi dalam mitigasi bencana perlu dilakukan. Pemerintah, terutama di daerah, harus melibatkan para remaja dan anak muda dalam mitigasi bencana dengan memberi ruang untuk berpendapat dan melakukan aksi terkait pengurangan risiko bencana.
Baca juga : Membangun Kembali Benteng Peredam Risiko Bencana Berbasis Kearifan Lokal
Kehadiran dan peran anak muda dengan berbagai potensi dan pemikiran (terutama kemampuan teknologi dan informasi) sangat penting dalam memperkuat kesiapsiagaan anak-anak saat menghadapi bencana.
Sejumlah anak muda di beberapa daerah rawan bencana di Indonesia membuktikan, kontribusi mereka dalam program pengurangan risiko bencana bisa mengubah kondisi di daerahnya. Bahkan, sejumlah anak muda hadir di desa-desa membangun kesadaran masyarakat agar bangkit dan mencari cara agar risiko bencana bisa diantisipasi.
Praktik baik yang dilakukan sejumlah anak muda mendapat dukungan dan perhatian dari Unicef Indonesia. Enam anak muda Indonesia yang tergabung dalam Lingkaran Remaja dan Jaringan Pemuda Mitra Muda se-Indonesia berpartisipasi dalam Forum Pemuda bersama dengan remaja dan anak muda lain di kawasan Asia Timur serta Pasifik dan sekitarnya.
Pada acara Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) 2022 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, tanggal 23-28 Mei 2022, ini anak-anak muda tersebut berbagi pengalaman tentang manajemen risiko bencana dan aksi perubahan iklim.
Mereka juga bersuara pada acara pernyataan anak-anak dan remaja global yang disampaikan selama sesi pemangku kepentingan utama. Mereka mendesak pentingnya partisipasi bermakna dari anak-anak dan remaja dalam keputusan nasional dan internasional.
Keenam anak tersebut adalah Ferina Futboe (23) dari Kupang (Nusa Tenggara Timur), Erwin Mahendra Eka Saputra (21) dari Bandung (Jawa Barat), Adella Indah Nurjanah (22) dari Palembang (Sumatera Selatan), Engel Laisina (22) dari Ambon (Maluku), serta Putri Nalum Sari (18) dan Aula Iftahatul Huda (20) dari Jepara (Jawa Tengah).
Mengatasi kekeringan
Ferina Futboe, misalnya. Juara Adolescent Kit, paket panduan, alat, aktivitas, dan perlengkapan Unicef yang dapat disesuaikan untuk mendukung remaja, terutama mereka yang terkena dampak krisis kemanusiaan dan berkepanjangan, ini memiliki pengalaman khusus dalam memanfaatkan kit tersebut.
Ferina yang pernah menjadi pembicara untuk Pre-Global Platform Session pada GPDRR 2019 dan berbagi tentang Youth Engagement on DRR memfasilitasi paguyuban remaja serta mendukung solusi kekeringan di Desa Oeletsala, Kupang.
”Awalnya saya bersama-sama kelompok remaja di desa bernama Lingkar Remaja menggunakan panduan kit remaja untuk menguatkan kapasitas remaja, bagaimana mereka membentuk kemampuan diri mereka dan pengurangan risiko bencana,” kata Ferina dalam wawancara dengan Kompas, Senin (23/5/2022).
Alhasil, melalui Lingkar Remaja, Ferina dan remaja di desanya bisa mendorong pemerintah desa untuk mencari cara-cara lain dalam mengatasi kekurangan air bersih di desanya karena wilayahnya sering mengalami kekeringan.
”Sekian tahun kami sebagai remaja tidak peduli soal kekeringan di desa dan menganggap biasa saja. Karena sejak lahir mencari air memang di tempat jauh. Kami akhirnya menyadari itu ternyata merupakan masalah. Kenapa mata air yang jauh ini berdampak pada remaja, kami terlambat sekolah karena masalah air,” kata Ferina.
Baca juga : Membudayakan Siap Siaga Bencana di Sekolah
Dari keprihatinan tersebut, pada akhir tahun 2015, Ferina dan kawan-kawan melihat solusi yang ditempuh masyarakat setempat, misalnya membeli air di tangki. Namun, hal itu ternyata tidak bisa dijangkau seluruh masyarakat. Ada juga cara mengambil air dengan mesin pompa, tetapi tidak berhasil karena sering rusak.
Sekian tahun kami sebagai remaja tidak peduli soal kekeringan di desa dan menganggap biasa saja. Karena sejak lahir mencari air memang di tempat jauh. Kami akhirnya menyadari itu ternyata merupakan masalah.
Ferina dan remaja lain kemudian mengusulkan sumur bor di lokasi mata air yang tepat. Ternyata usul mereka diterima pemerintah setempat yang kemudian menggunakan dana desa untuk membangun sumur bor.
”Ternyata upaya ini berhasil mengatasi masalah kekeringan. Sekarang sudah ada delapan sumur bor di daerah kami. Kini putar keran depan rumah, tidak perlu jalan ke mata air. Di forum GPDRR 2022 saya membagikan bahwa anak-anak muda juga punya solusi atas masalah di lingkungan mereka. Selama ini anak cuma jadi obyek. Untuk apa pun yang anak mau, orang dewasa yang pikirkan,” kata Ferina.
Padahal, ketika anak muda dilibatkan, Ferina membuktikan, mereka bisa ikut berkontribusi mengatasi masalah di daerahnya. Karena itu, dia berharap remaja tidak takut berperan di lingkungannya, melahirkan praktik-praktik baik. ”Mulai saja dulu,” katanya.
Sekolah siaga bencana
Di Jawa Barat, Erwin Mahendra Eka Saputra, anggota Mitra Muda Unicef dari Bandung, yang menjadi pembicara di Asia Pacific Youth Forum 2022, Road to the Global Youth Platform on DRR, menggagas program pengurangan risiko bencana berpusat pada anak di Satuan Bhakti Sosial Mahasiswa (SBSM) Poltekesos Bandung.
”Di forum ini saya menyampaikan aksi-aksi nyata yang dilakukan mitra muda Unicef. Yang pertama kami membagikan aksi nyata, seperti kampanye tentang adaptasi perubahan iklim dengan cara penanaman pohon, lalu kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah. Tujuannya, bagaimana anak muda memiliki perspektif agar bisa melakukan aksi pengurangan risiko bencana dalam perubahan iklim,” kata Erwin.
Melalui program tersebut, Erwin dan kawan-kawan mendorong peningkatan kapasitas dan partisipasi anak dalam pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, serta adaptasi perubahan iklim. Di Jabar, seperti Kota Bandung, menurut Erwin, ada sekitar 350 sekolah yang masuk dalam daerah rawan bencana gempa bumi.
Kondisi ini kemudian mendorong Erwin dan kawan-kawan berkampanye soal program sekolah siaga gempa. Mereka hadir di sejumlah sekolah baik secara daring maupun luring, berbagi pengetahuan tentang sekolah siaga bencana.
”Kami melakukan kampanye dan memobilisasi anak-anak muda lewat media sosial. Dari kampanye itu, sekitar 450 anak muda berpartisipasi dengan menanam bibit mangrove di beberapa tempat. Di kampus saya, anak-anak muda melakukan aksi di sekolah-sekolah terkait bencana, seperti pembuatan jalur evakuasi, pembentukan komunitas siaga bencana. Kami kolaborasi dengan organisasi pemuda,” papar Erwin.
Sejumlah kampung dan sekolah akhirnya merintis sekolah atau kampung siaga bencana, antara lain SMP Plus Babussalam, Dago Atas, Kampung Ciburial; SDN 067 Nilem, Kota Bandung; SMP Juara Kota Bandung; SMPN 8 Kota Bandung; SMPN 46 Kota Bandung; Kampung Muril, Kabupaten Bandung Barat; dan Pondok Pesantren Al-Basyariah, Kota bandung.
Pada forum GPDRR yang juga dihadiri Kepala Unicef Kawasan Asia Pasifik Debora Comini, juga tampil Vania Santoso, Staf Komunikasi Bidang Partisipasi Anak Muda Unicef Indonesia. Vania mewakili tim Youth Engagement Unicef Indonesia.
Vania mengaku bangga dan senang karena bisa menunjukkan bahwa anak muda bukan hanya obyek bahasan, melainkan benar-benar subyek. Ia mendorong anak-anak muda di Indonesia untuk menyadari potensi mereka.
”Anak muda harus sadar, mereka bukan cuma topik bahasan saja, tapi bisa mengambil aksi nyata dengan bergabung ke komunitas dari isu terkait yang mereka sukai atau isu yang membuat mereka resah dan ingin membuat perubahan,” katanya.
Saat ini, Unicef Indonesia memiliki platform U-Report yang mengajak anak-anak muda bisa berjejaring dengan aktivis-aktivis lain, dengan para mitra organisasi lain, untuk menyuarakan pendapat dan melakukan aksi bersama.
Harapannya, anak muda Indonesia percaya diri bahwa mereka bukan cuma pemimpin di masa depan, melainkan juga bisa memimpin diri mereka sendiri dan setiap keputusan yang mereka ambil.