Dibutuhkan Desain Peningkatan Kualitas Guru yang Inklusif
Peningkatan mutu guru untuk mendukung pendidikan berkualitas masih belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Untuk itu, pendidikan guru yang inklusif, berkeadilan, dan non-diskriminatif dibutuhkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kualitas guru masih jadi masalah krusial yang memengaruhi transformasi pendidikan yang bermutu. Untuk itu, peningkatan kualitas guru harus didukung dengan desain pendidikan dan pelatihan guru yang inklusif dan berkeadilan agar mampu mewujudkan sosok guru ideal guna menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter.
Ketua Dewan Pengawas Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas, Dhitta Puti Sarasvati mengatakan, peningkatan mutu guru tak sekadar melalui pelatihan teknis praktik mengajar atau metode mengajar. Yang penting justru mendesain pendidikan guru yang berkualitas, mulai dari pendidikan calon guru, saat menjadi guru baru, hingga ketika sudah menjadi guru berpengalaman yang membutuhkan pengembangan profesional berkelanjutan.
Menurut Dhitta, banyak pengetahuan dan kompetensi guru yang seharusnya sudah terbangun saat menjadi calon guru di lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) tetapi pada kenyataannya justru tidak ada. Akibatnya, banyak guru tidak cakap mengajar Matematika dan literasi/membaca karena tanpa landasan teori dan praktik yang memadai sehingga berdampak pada kompetensi siswa yang tidak memenuhi standar minimum.
“Peningkatan kualitas guru harus didesain dalam pendidikan yang juga berkualitas, mendesain seperti apa idealnya guru Indonesia, berangkat dari kondisi riil dan kesenjangan dengan yang ideal. Dari situ nanti ada tahapan menuju ideal. Jadi perlu berpikir strategis untuk bisa mencapai sosok guru ideal yang didambakan negeri ini,” kata Dhitta dalam webinar Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk Mendesain Program Pelatihan dan Mentoring Guru yang Efektif dan Mencerdaskan, Minggu (22/5/2022).
Dhitta menambahkan, dalam desain pendidikan guru, harus ada gambaran negeri ini butuh sosok guru ideal sebagai intelektual, teknisi (sesuai perintah), pengambil keputusan, atau guru sebagai pengambil keputusan yang dibuat oleh pihak lain, hingga guru sebagai profesional atau bukan. Dengan pelatihan guru yang mumpuni sejak dari calon guru dan terus berlanjut dengan pengembangan profesional, guru akan terus siap dengan perubahan untuk menghasilkan insan-insan yang cerdas dan berkarakter untuk memajukan Indonesia.
Secara terpisah, di acara Halal Bi Halal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sabtu kemarin, Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, pemerintah harus secara serius memperjuangkan guru yang profesional, bermartabat, sejahtera, dan terlindungi. Sayangnya, persoalan guru dan perguruan tinggi penghasil calon guru/ LPTK semakin tidak jelas di dalam peta jalan maupun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
“Itu sebabnya PGRI selalu bersifat kritis dan terbuka untuk melakukan dialog. Kami ingin agar persoalan-persoalan penting menyangkut masa depan bangsa itu sebaiknya didiskusikan secara terbuka melibatkan para ahli dan masyarakat agar menjadi pedoman dan arah bagi kelangsungan pendidikan yang bermutu. PGRI akan selalu berusaha menjadi rumah besar yang nyaman bagi guru, dosen, pendidik, dan tenaga kependidikan di Indonesia,” ujar Unifah.
Menurut Unifah, beberapa isu penting terkait guru yang diperjuangkan saat ini, yakni sebanyak dari 160.000 guru yang lulus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), namun baru 90.000 atau sekitar 65 persen yang telah mendapatkan surat keputusan sebagai PPPK. Bahkan, dari 193.000 guru yang lulus passing grade, sampai saat ini belum jelas formasinya. Padahal dari awal digembar-gemborkan bahwa tersedia 1 juta formasi untuk rekrutmen guru PPPK.
“Ini adalah persoalan serius, karena amanat UUGD (Undang-Undang Guru dan Dosen) menyebutkan bahwa ketersediaan jumlah guru, kualitas, kompetensi, dan penyebarannya, dan tentu saja kesejahteraannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Belum lagi isu tidak adanya kesempatan bagi para calon guru untuk menjadi aparatur sipil negara. Ini adalah persoalan serius, menyangkut keberlanjutan generasi muda yang potensial yang tertarik menjadi guru,” kata Unifah.
Inklusif dan berkeadilan
Sementara itu, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim mengatakan, sebenarnya animo guru untuk belajar dan mengikuti pelatihan guru cukup tinggi. Namun, berbagai program peningkatan mutu guru dengan gonta-ganti program/nama, nyatanya sampai saat ini belum juga mampu berkolerasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Potret guru ideal seperti di UU Guru dan Dosen yang mumpuni dalam kompetensi profesional, pedagogi, sosial, dan kepribadian belum sesuai harapan.
“Apakah (program) guru penggerak yang kini dijalankan Kemendikbudristek dapat menjawab terwujudnya sosok guru ideal yang dibutuhkan negeri ini? Sampai saat ini, guru antusias ikut pelatihan secara pragmatis namun sudah jadi rahasia umum, kompetensi guru masih rendah,” kata Satriwan.
Menurut Satriwan, saat ini dibutuhkan peran pemerintah pusat dan daerah untuk mendesain pelatihan guru yang inklusif, berkeadilan dan non-diskriminatif. Ketika guru berada di daerah yang tidak ada infrastruktur digital, butuh pelatihan yang offline. Selain itu, juga harus mampu menjawab tantangan jumlah guru yang banyak dan geografis yang sulit sehingga sekitar 3.1 juta guru mendapatkan peningkatan profesionalisme berkelanjutan yang rutin.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Kementerian Agama Muhammad Zain mengakui peningkatan kualitas guru harus dilakukan serius dan didukung komitmen anggaran. Ada sekitar 256.000 guru madrasah yang belum disertifikasi. Kemampuan untuk pendidikan profesi guru dengan 34 LPTK di bawah Kementrian Agama hanya mampu sekitar 10.000 guru/tahun.
“Persoalan utama guru madrasah yakni membenahi kualifikasi karena masih ada yang belum S1, kompetensi guru, karir guru, dan kesejahteraan guru. Kita berharap apresiasi pada profesi guru terus ditingkatkan,” kata Zain.