Anak Dikepung Kejahatan Daring hingga Luring
Pandemi bukan hanya menempatkan anak pada situasi rentan terpapar virus korona. Banyak di antara mereka juga mengalami berbagai bentuk eksploitasi , kekerasan seksual secara daring, serta eksploitasi ekonomi.

Alestina yang berusia 8 tahun bermain dengan gawai di rumahnya di Kampung Aryobu, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Kamis (30/9/2021).
Pandemi Covid–19 membawa perubahan besar dalam kehidupan anak-anak di dunia, termasuk anak-anak Indonesia. Terhubungnya anak-anak dengan teknologi digital telah mengubah pola hidup anak-anak, bahkan berisiko menyeret mereka ke dalam kejahatan dunia maya atau kejahatan siber.
Gawai dengan internet telah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, akses internet ini menjadi solusi layanan pendidikan di masa pandemi. Di sisi lain, kebebasan penggunaan internet menjadi celah baru yang menghubungkan anak-anak dengan dunia pornografi, yang menjerat anak-anak dalam lingkaran eksploitasi seksual secara daring.
Konferensi Nasional ”Kebangkitan Nasional dalam Upaya Perlindungan Anak di Indonesia Pasca Pandemi Covid-19” yang berlangsung di Jakarta, 18-19 Mei 2022, menemukan sejumlah situasi yang dihadapi anak selama pasapandemi.
Sebanyak 79 persen anak menggunakan gawai untuk kepentingan di luar pendidikan selama pandemi Covid-19.
Konferensi tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi dari 28 panelis dan peserta yang berjumlah sekitar 200 orang. Para panelis yang terdiri dari berbagai macam unsur, yakni pemerintah (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK,) Tim Cyber Crime Mabes Polri, akademisi dari berberapa universitas di Indonesia, sektor swasta yang berkaitan dengan digital seperti Meta, dan perwakilan start up, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), perwakilan dari anak dan orang muda, serta perwakilan lembaga swadaya masyarakat lokal yang peduli pada isu perlindungan anak.
Pada acara yang diselenggarakan ECPAT Indonesia, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK), Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU), dan sejumlah lembaga perlindungan anak terungkap 79 persen anak menggunakan gawai untuk kepentingan di luar pendidikan selama pandemi Covid-19.
Ketergantungan pada gawai mengubah perilaku anak-anak remaja. Ditemukan fakta sebagian pengisi Whatshapp Group (WAG) pornografi merupakan remaja dengan rentang usia 12-19 tahun atau berada pada usia sekolah. Semakin banyak waktu yang dihabiskan remaja untuk tetap tergabung dalam WAG pornografi menimbulkan kemungkinan mereka menjadi korban siber atau ”pelaku” semakin besar.
Kondisi ini disampaikan Al Mukhollis Siagian dari Universitas Negeri Padang, yang memaparkan penelitiannya berjudul ”Pandemi Covid-19 dan Perilaku Transgresif Remaja: Ditinjau dari Whatsapp Group Pornografi” pada konferensi tersebut. Dari penelitian tersebut, Mukhollis menemukan kecanduan atas pornografi daring bagi remaja telah memasuki stadium tertinggi.

Terdapat 60 remaja yang mengalami tindakan penipuan dari orang-orang yang mengatasnamakan penyedia jasa pornografi daring dan juga penyedia jasa seksual luring. Total biaya dari para korban penipuan tersebut senilai Rp 36 juta dengan nilai pengeluaran setiap korban yang variatif.
Penelitian itu menemukan ada lima WA Grup pornografi dengan komposisi 15 admin dan 813 remaja anggotanya. ”Keterjangkauan layanan teknologi dan kondisi yang memaksa remaja harus bersentuhan dengan media online setiap harinya seperti pandemi Covid-19 telah menjadi pemicu yang kuat dari kecanduan pornografi daring stadium tertinggi,” Mukhollis.
Dinamika kejahatan eksploitasi seksual anak di wilayah daring pada masa pandemi dipaparkan oleh Tim Siber Mabes Polri. Adapun kejahatan seksual di wilayah daring modusnya bermacam-macam, yakni pelaku gunakan akun Facebook/Twitter/Instagram/Telegram; pelaku melakukan profiling terhadap calon korban; pelaku meminta nomor Whatsapp ke korban untuk komunikasi lebih intens dan membujuk rayu/grooming kepada korban; pelaku masuk melalui game daring; pelaku menjadi pacar daring korban; pelaku mengiming-imingi korban dengan pulsa, dan menambah poin pada game daring.
Baca juga : Hati-hati! Kejahatan Berbasis Jender Lewat Daring Mengintai Anak Perempuan
Ada juga modus pelaku mengirimkan gambar atau video porno ke korban untuk diikuti; membujuk korban agar mengirimkan foto/gambar dan video korban; pelaku masuk di Zoom pembelajaran anak dan menampilkan gambar porno; dan pelaku memanipulasi gambar anak dengan gambar porno dan disebarkan di media sosial untuk tujuan tertentu.
Terhadap kejahatan tersebut, selain penegakan hukum dan patrol siber, kepolisian melakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga serta platform media sosial. Ketika menjadi korban, korban perlu melakukan sejumlah langkah agar bisa menjerat pelaku, yakni screenshot/capture konten; screenshot/capture profil akun; copy link url; print screenshot/capture konten, profil akun dan link URL nya (bukti hardcopy); masukkan screenshot/capture konten, profil akun dan link URL-nya ke dalam flashdisk/CD/DVD (bukti softcopy).
Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum atas kejahatan daring antara lain, korban enggan membuat laporan polisi, sita barang bukti (gawai korban, pelapor, saksi), lokasi korban berbeda-beda, dan tantangan dalam menjaga mood korban anak.

Setidaknya ada enam tantangan yang dihadapi orangtua dalam era digital. Pertama, kemudahan akses internet (akses Wi-Fi gratis dan kuota internet berharga murah membuat akses lebih mudah). Kedua, bebas terkoneksi tanpa aturan (tidak adanya aturan terkait penggunaan internet membuat anak terlalu bebas menggunakannya). Ketiga, anak lebih pintar dari orangtuanya (digital native membuat anak lebih mudah menguasai teknologi digital dibanding orangtua, tapi bukan berarti anak-anak lebih paham).
Keempat, dunia user-generated content (informasi di internet bisa datang dari siapa saja, perlu daya pikir kritis ketika mengunggah atau memilah informasi di internet). Kelima, anak ingin bebas (pengaruh informasi yang diterima dari internet membuat anak ingin kebebasan yang lebih besar). Keenam, belum paham risiko, yaitu selain dampak positif, terdapat risiko negatif internet yang tidak diketahui anak-anak.
Lokasi berubah-ubah
Tingginya kasus-kasus eksploitasi seksual secara daring juga tergambar dari data di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta. Dalam dua tahun masa pandemi, tren eksploitasi seksual anak berubah-ubah. Sebelum masa pandemi banyak eksploitasi seksual dilakukan di apartemen.
Namun, pada awal 2020 sebelum masuk masa pandemi mereka berpindah ke kafe, hotel, dan tempat spa. Ketika masuk masa pandemi Covid-19, lokasi eksploitasi berpindah ke tempat kos, menyusul kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Seiring kasus Covid-19 menurun, pada tahun 2021, eksploitasi kembali ke apartemen, hotel, dan sebagian ada yang tetap di kos.

Tim siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali, Senin (24/5/2021), menggelar jumpa pers mengenai pengungkapan dua kasus kejahatan siber. Dua tersangka juga dihadirkan dalam jumpa pers tentang pengungkapan kasus kejahatan siber di Ditreskrimsus Polda Bali, Denpasar, Senin (24/5).
Pandemi juga menimbulkan kerentanan bagi siswa yang belajar di lingkungan pendidikan berbasis agama. Pada konferensi tersebut, salah satu pembawa materi menyampaikan survei yang dilakukan terkait kekerasan seksual di pondok pesantren. Pada tahun 2021, dari 175 responden terdapat 58,9 persen yang mengaku pernah mengalami kekerasan selama tinggal dipesantren.
Kekerasan pada anak di masa pandemi Covid-19 juga tergambar dalam Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengungkapkan, 2 dari 10 anak laki-laki dan 3 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih pada masa pandemi Covid-19.
Mengatasi berbagai eksploitasi dan kekerasan seksual yang dialami anak-anak di masa pandemi, sejumlah praktik baik dilakukan beberapa daerah, melalui gerakan melindungi anak-anak dari kejahatan daring maupun luring, seperti yang dilakukan di Kabupaten Ciamis (dengan Program Three C/Ciamis Child Complaint: Layanan Inovatif dalam Upaya Penanggulangan Kekerasan terhadap Anak), di Kota Bandung (dengan Desain Program Penanganan Anak Korban Perundungan), di Sulawesi Selatan, di Sumatera Barat, dan daerah lainnya.
”Diharapkan berbagai inisiatif layanan tersebut membuat masyarakat secara proaktif mengakses layanan yang ada dan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Diharapkan best practices dan studi yang dilakukan dalam konferensi nasional ini dapat terdokumentasi dan terpublikasi dengan baik,” kata Nahar.
Baca juga : Berikut Tips untuk Menghindari Kejahatan Seksual Daring
Direktur Keluarga Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum menegaskan, inisasi program yang dilakukan daerah dapat diintegrasikan dengan program pemerintah pusat. Misalnya, Desain Program Penanganan Anak Korban Perundungan di Kota Bandung dapat diintegrasikan dengan Program Roots dari Kemendikbudristek sehingga tidak hanya menghapus tindakan perundungan pada ranah sekolah, tetapi juga mengedukasi agar bersama-sama mencegah perundungan pada ranah daring.
Upaya konkret terkait perlindungan anak menjadi rekomendasi penting yang disampaikan peserta dan pembicara konferensi. Misalnya, penyelenggara internet maupun platform media sosial untuk melakukan penguatan sistem keamanannya dalam rangka memberikan perlindungan pada anak di dunia digital. Selain itu, perlu juga segera dilakukan riset yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan di ranah daring untuk penyempurnaan kebijakan perlindungan anak di ranah daring.

Barang bukti dugaan kasus kejahatan siber yang dirilis Polri, Jumat (2/8/2019), di Jakarta.
Karena itu, menurut Koordinator ECPAT Indonesia, perlu penguatan upaya preventif pada akar rumput (keluarga), antara lain melalui penggunaan aplikasi pengawasan orangtua (parental control) dan penyuluhan. Aplikasi-aplikasi ini perlu bisa memfasilitasi orangtua untuk memahami bahasa yang digunakan oleh anak dalam komunikasi di media sosial.
Orangtua dan keluarga sebagai lini terdekat bagi perlindungan anak dan pemegang kendali nilai-nilai perlu membangun komunikasi yang terbuka dengan anak agar orangtua dan keluarga tetap menjadi tumpuan utama bagi anak dalam mengelola masalah-masalah yang dihadapinya.