Memupuk nasionalisme pada generasi muda penting agar mereka tidak kehilangan identitas kebangsaannya. Namun, cara menumbuhkan nasionalisme masa kini mesti menggunakan pendekatan berbeda.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari Kebangkitan Nasional menjadi momentum untuk memupuk nasionalisme kaum muda. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah memberikan ruang dan kesempatan bagi pemuda untuk berkreasi, berpendapat, dan mengembangkan diri.
Menurut Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Sri Edi Swasono, Jumat (20/5/2022), menumbuhkan nasionalisme hendaknya terintegrasi dengan pendidikan. Jika hal itu tidak dilakukan, maka rasa cinta terhadap bangsa pada anak-anak akan sulit tumbuh. Mereka pun bisa terpisah dari bangsanya ketika dewasa.
Padahal, nasionalisme menjadi modal awal membangun negara. Sejarah pun mencatat peran kaum muda untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa. Munculnya kesadaran itu ditandai dengan pendirian organisasi Budi Utomo pada 1908. Organisasi tersebut beranggotakan para pelajar Stovia (dulu Sekolah Dokter Djawa), serta pelajar sekolah menengah dan tinggi lain.
”Rasa patriotisme dan nasionalisme sekarang meluntur,” kata Sri Edi pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta.
”Integrasi nasional porak-poranda, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, misalnya, golongan kaya dan miskin tidak lagi berkohesi, ketidakadilan semakin menganga, kesenjangan struktural melebar, dan kecemburuan sosial memuncak. Secara horizontal, kita terkotak-kotak dalam eksklusivisme identitas,” tambahnya.
Di sisi lain, definisi nasionalisme di kalangan anak muda berkembang. Jika dulu nasionalisme identik dengan perjuangan kemerdekaan, kini nasionalisme berkaitan dengan berbagai aspek, seperti pelestarian lingkungan dan promosi budaya.
”Nasionalisme remaja yang tumbuh pascareformasi berbeda, menjadi subyektif. Perkembangan rasa cinta Indonesia menjadi sangat lokal karena mereka melihat apa yang ada di lingkungan, masyarakatnya, serta potensi daerah sehingga imaji solidaritas yang dimiliki berbeda, seperti tumbuh komunitas-komunitas di sejumlah daerah,” kata penulis dan pendiri Youth Laboratory Indonesia, Muhammad Faisal (Kompas, 24/8/2020).
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Museum Kebangkitan Nasional Pustanto, generasi muda masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dengan pemuda zaman dulu. Pemuda zaman dulu menghadapi penjajahan. Sementara itu, pemuda zaman sekarang menghadapi berbagai isu, seperti krisis iklim, korupsi, ketidaksetaraan, dan persoalan hak asasi manusia.
Cara pemuda masa kini menyelesaikan tantangan pun tak bisa disamakan dengan masa lalu. Pustanto mengatakan, salah satu cara mendukung kaum muda masa kini adalah memberi ruang dan kesempatan bagi mereka berekspresi.
”Beri kesempatan untuk berkarya, tetapi jangan lupa bahwa kita (pemerintah dan generasi lebih tua) harus hadir. Jika itu terjadi, kaum muda akan menyebarkan virus kebaikan secara digital,” ucap Pustanto.
Beri kesempatan untuk berkarya, tetapi jangan lupa bahwa kita (pemerintah dan generasi lebih tua) harus hadir. Jika itu terjadi, kaum muda akan menyebarkan virus kebaikan secara digital.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra mengutarakan, nasionalisme dapat dilihat dari sisi pemajuan kebudayaan. Generasi muda yang ingin berkreasi dengan akar budayanya akan difasilitasi. Salah satu skema fasilitasi yang disediakan pemerintah adalah fasilitasi bidang kebudayaan (FBK).
Publik juga bisa mengakses pendanaan kegiatan seni budaya melalui Dana Indonesiana. Kaum muda juga didorong untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan potensi budaya. Berbagai karya seni pun didukung Kemendikbudristek, misalnya monolog Di Tepi Sejarah dan video Wonderland Indonesia oleh Alffy Rev.
”Pemerintah siap memfasilitasi karya dan ide anak muda demi memaknai kreasi, inovasi, dan pada akhirnya nasionalisme,” kata Mahendra.
Di sisi lain, pemuda juga perlu diberi ruang berpartisipasi untuk merumuskan kebijakan publik. Ini karena sejumlah isu nasional relevan dengan kebutuhan kaum muda, misalnya krisis iklim yang akan berdampak pada isu kesehatan serta kualitas hidup di masa depan.
Dalam Laporan World Youth Report 2018: Youth and the 2030 Agenda for Sustainable Development” yang terbit pada tahun 2018, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti situasi kaum muda yang menghadapi hambatan struktural dan sosial untuk berpartisipasi penuh dan efektif di ranah politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Situasi itu membuat kaum muda semakin berisiko terhadap kemiskinan, kekerasan, pengungsian, dan marjinalisasi.