Eksploitasi Anak Meningkat, Intervensi Perlu Dilakukan Semua Pihak
Dua tahun masa pandemi Covid-19 berimbas besar pada situasi dan kondisi anak-anak Indonesia. Selain terpapar penyakit dan kehilangan orangtua, anak-anak menjadi korban kekerasan seksual, eksploitasi daring, dan ekonomi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan pola komunikasi dan dinamika sosial, meningkatnya pemanfaatan akses internet, dan terganggunya layanan kesehatan pada masa pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir membuat anak rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi baik daring maupun luring. Intervensi harus segera dilakukan pemerintah, lembaga perlindungan anak, dan komunitas masyarakat sipil untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak dari kekerasan.
Pemerintah Indonesia juga perlu menyusun peta jalan (roadmap) penghapusan eksploitasi anak yang komprehensif dan melibatkan semua pemangku kebijakan untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam perlindungan anak. Langkah ini penting, menyusul berbagai survei dan kajian yang menemukan peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, terutama dalam bentuk eksploitasi di ranah daring, seksual, dan ekonomi.
Hal ini menjadi topik pembahasan dalam Konferensi Nasional ”Kebangkitan Nasional dalam Upaya Perlindungan Anak di Indonesia Pasca-Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan ECPAT Indonesia, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), Yayasan Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK), Yayasan Kasih Yang Utama (YKKU), dan sejumlah lembaga perlindungan anak, Rabu (18/5/2022) di Jakarta.
Perlu ada upaya bersama dan langkah-langkah perlindungan anak sampai ke tingkat desa-desa. (Femmy Eka Kartika)
”Kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama, dalam keluarga dan masyarakat harus dihentikan,” ujar Femmy Eka Kartika, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), pada pembukaan konferensi tersebut.
Femmy meminta sosialisasi berbagai regulasi tentang perlindungan anak dan pencegahan kekerasan terhadap anak harus dilakukan secara masif. Peran pemerintah daerah hingga ke tingkat desa untuk memberikan edukasi masyarakat, terutama meningkatkan peran keluarga dalam melindungi anak-anak dari kekerasan.
”Peraturan sudah banyak tinggal bagaimana melaksanakannya. Perlu ada upaya bersama dan langkah-langkah perlindungan anak sampai ke tingkat desa-desa,” ujar Femmy.
Tren peningkatan
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat anak-anak berada pada situasi yang sangat rentan. Laporan Kasus dan Korban Kekerasan terhadap Anak Periode Tahun 2019 hingga Februari 2022 berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), menunjukkan tren peningkatan.
Bahkan, korban eksploitasi seksual pada anak terus meningkat. Pada 2019 tercatat 6.454 korban, pada tahun 2021 tercatat 8.703 korban. Bahkan, pada Januari-Maret 2022 tercatat 2.401 korban.
”Sejak tahun 2019, angka pelaporan terus naik, rata-rata di atas sepuluh ribu kasus, dan korban pun lebih banyak lagi. Angkanya terus berkembang dan sebagian besar kasus yang di lapangan adalah kasus kekerasan seksual. Memasuki 2022, angka kasus kekerasan terhadap anak terus bergerak. Hingga Maret 2022, kasus yang terlaporkan lebih dari 2.000 kasus,” ujar Nahar.
Adapun tantangan perlindungan anak di masa pandemi, antara lain, kesenjangan antara jumlah pelapor kekerasan dan ketersediaan lembaga layanan, kualitas kekerasan yang beragam dengan kualitas penanganan, keluasan cakupan wilayah dengan sistem penanganan, serta pola pengasuhan dan kemampuan literasi digital orangtua.
Menghadapi situasi dan kondisi anak yang rentan kekerasan, Irwanto, psikolog yang juga Panitia Pengarah Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2022, menegaskan, pemerintah perlu merumuskan komitmen baru dalam menjalankan kebijakan perlindungan anak, serta partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan.
Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofian berharap, konferensi nasional tersebut akan meningkatkan upaya-upaya pencegahan terhadap berbagai eksploitasi seksual, daring, dan ekonomi terhadap anak, yang merupakan imbas dari pandemi Covid-19.
Kasus eksploitasi seksual, misalnya, meningkat hingga 30 persen. Begitu juga dengan eksploitasi ekonomi menurut Badan Pusat Statistik bertambah. ”Di ranah daring, peningkatan paling pesat adalah kecanduan anak-anak terhadap gawai sehingga interaksi di dunia nyata berkurang. Dua tahun mereka berada di area itu, bagaimana mengatasinya. Karena itu, konferensi ini bagaimana mencari jalan keluar, bagaimana dampak pandemi bisa segera diatasi setelah kita keluar dari pandemi,” tegas Sofian.
Misran Lubis (JARAK) dan Fandi (Yayasan PKPA) juga menambahkan, dari konferensi tersebut sejumlah rekomendasi akan disampaikan terkait penegakan hukum yang tegas dalam penanganan kasus-kasus eksploitasi ekonomi dan seksual secara daring dan luring. Pemerintah Indonesia perlu membangun pusat data nasional yang valid dan dapat diakses secara mudah oleh masyarakat untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak dari eksploitasi anak di Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga perlu menyusun peta jalan penghapusan eksploitasi anak yang komprehensif dan melibatkan para pemangku kepentingan untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam penghormatan dan perlindungan anak. ”Sebab, Roadmap Indonesia bebas pekerja anak akan berakhir pada tahun 2022,” tambah Misran.