Jerat Pinjaman ”Online” dan Upah Rendah Yogya dalam Epigram Joko Pinurbo
Dalam buku ”Epigram 60”, Joko Pinurbo menghadirkan sejumlah epigram atau puisi pendek yang merespons beragam persoalan, misalnya pandemi Covid-19, jerat pinjaman ”online”, hingga rendahnya UMR Yogyakarta.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Penyair Joko Pinurbo merayakan ulang tahun ke-60 dengan menerbitkan kumpulan puisi berjudul Epigram 60. Dalam buku tersebut, Joko Pinurbo menghadirkan sejumlah epigram atau puisi pendek yang merespons beragam persoalan, misalnya pandemi Covid-19, jerat pinjaman online hingga rendahnya upah minimum regional Daerah Istimewa Yogyakarta.
Buku Epigram 60 diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan di Toko Buku Gramedia Sudirman, Yogyakarta, Senin (16/5/2022). Selain diisi dengan bincang-bincang tentang buku Epigram 60, acara tersebut juga diisi dengan pertunjukan dari Forum Aktor Yogyakarta serta band Olski.
”Buku ini sengaja diberi judul Epigram 60 karena jumlah puisi yang ada dalam buku ini juga 60. Sengaja dibuat 60, tidak lebih, tidak kurang. Jumlah itu merujuk pada angka usia saya dan juga jumlah puisi yang ada di buku itu,” kata Joko Pinurbo dalam acara peluncuran buku.
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Mei 1962 dan sehari-hari tinggal di Yogyakarta. Lelaki yang akrab dipanggil Jokpin itu pertama kali menerbitkan kumpulan puisi pada tahun 1999 dengan judul Celana. Sejak penerbitan buku puisi pertamanya itu, Jokpin langsung mendapat perhatian di dunia sastra Indonesia.
Puisi-puisi Jokpin dinilai menawarkan kebaruan karena banyak bergulat dengan benda-benda sehari-hari, seperti celana, sarung, telepon genggam, dan kamar mandi, yang jarang muncul dalam karya penyair-penyair sebelumnya. Selain itu, puisi-puisi Jokpin terasa segar karena menawarkan humor yang sebelumnya juga tak banyak muncul dalam sejarah perpuisian Indonesia.
Sebelum menerbitkan Epigram 60, Jokpin telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, misalnya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2001), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012), dan Baju Bulan (2013).
Buku puisi Jokpin lainnya adalah Bulu Matamu: Padang Ilalang (2014), Surat Kopi (2014), Surat dari Yogya (2015), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017), Perjamuan Khong Guan (2020), Salah Piknik (2021), Sepotong Hati di Angkringan (2021), dan Kabar Sukacinta (2021).
Selain itu, Jokpin juga telah meraih berbagai penghargaan sastra, yakni Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001 dan 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002 dan 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005 dan 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Kegembiraan
Joko Pinurbo mengatakan, buku Epigram 60 merangkum kecenderungan tematik dan teknik dari puisi-puisi yang pernah ia terbitkan sebelumnya. Dalam buku ini, Jokpin juga masih meneruskan semangat kegembiraan dalam puisi-puisinya.
”Cara berpuisi saya adalah cara berpuisi yang menunjukkan semangat bergembira meskipun isinya banyak mengenai kegetiran hidup. Jadi, kegetiran hidup diungkapkan dengan cara yang menggembirakan, syukur bisa menghibur orang, lebih syukur lagi kalau bisa menyelamatkan satu dua nyawa dari kematian mental,” ungkap Jokpin.
Dalam Epigram 60, Jokpin memang menyajikan sejumlah puisi ihwal kegetiran hidup yang dibalut dengan humor dan ironi. Dalam puisi berjudul ”Ibu Kami”, misalnya, Jokpin mengajak kita menertawakan banyaknya godaan untuk menjadi kaya dengan mudah dan cepat. Simak petikan puisi itu:
Dalam puisi berjudul ”Sirene”, Jokpin merespons sejumlah persoalan yang saling berkelindan beberapa waktu belakangan, yakni pandemi Covid-19, korupsi, hingga jeratan pinjaman online. Dengan cara yang sederhana tapi pas, puisi tersebut menyajikan refleksi ihwal berlapis-lapis beban yang mengimpit masyarakat selama pandemi:
Wabah telah disusupi korupsi.
Malam mendengung tiada henti.
Siapa gerangan bakal lebih dulu
nongol: ambulans atau pinjol?
Jeratan pinjaman online yang marak beberapa tahun terakhir juga dibahas secara khusus dalam puisi berjudul ”Mata Pinjol”. Dalam puisi ini, Jokpin melukiskan bagaimana tawaran pinjaman online terus datang kepada kita seperti mata yang jelalatan menggoda:
Hatiku yang bokek
berdebar-debar
digoda mata pinjol
yang jelalatan
di layar ponselku.
Yogyakarta
Puisi lain yang juga menarik adalah ”Guyon Yogya”. Dalam puisi tersebut, Jokpin membahas sejumlah persoalan di Yogyakarta, misalnya upah minimum regional (UMR) yang rendah serta harga tanah yang tinggi. Namun, puisi itu juga masih menyiratkan rasa cinta Jokpin yang besar terhadap Yogyakarta:
UMR-nya rendah.
Harga tanahnya tinggi.
Harga kangennya lebih tinggi.
Puisi ”Guyon Yogya” menarik dicermati karena Jokpin juga pernah membuat sejumlah puisi tentang Yogyakarta sebelumnya. Salah satu puisi Jokpin yang paling terkenal tentang Yogyakarta dimuat dalam buku kumpulan puisi Surat Kopi. Dalam puisi pendek berjudul ”Jogja” itu, Jokpin melukiskan Yogyakarta dengan begitu romantis:
Jogja terbuat dari rindu,
pulang, dan angkringan.
Selama beberapa tahun terakhir, kutipan puisi tersebut sangat dikenal di kalangan masyarakat Yogyakarta dan kerap dikutip di berbagai kesempatan, termasuk media sosial. Bahkan, kutipan puisi tersebut juga dipajang di salah satu tempat relokasi pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Yogyakarta.
Jokpin menuturkan, dirinya memang memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap Yogyakarta. Namun, dia juga mengaku prihatin dengan berbagai persoalan yang terjadi di Yogyakarta. Keprihatinan itulah yang mungkin mendorong Jokpin menulis puisi ”Guyon Yogya”.
”Yogyakarta itu kan dalam banyak hal menyebalkan. Banyak klitih (kejahatan jalanan), tata ruangnya tidak karuan, kadang-kadang lalu lintasnya sangat semrawut, dan urusan pembuangan sampah juga bermasalah. Tetapi, kok, tetap banyak orang yang kangen? Itu yang gila siapa?” kata Jokpin.
Editor Gramedia Pustaka Utama Mirna Yulistianti memaparkan, puisi-puisi dalam Epigram 60 menunjukkan kegelisahan Jokpin terhadap berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menurut Mirna, selama ini, Jokpin memang memiliki kebiasaan untuk merespons fenomena sosial melalui puisi. Namun, puisi-puisi yang dibuat Jokpin itu tak hanya sekadar mewartakan sebuah fenomena, tetapi juga menampilkan refleksi yang mendalam.
”Mas Jokpin itu kan selalu merespons fenomena sosial yang terjadi, misalnya saat pandemi kok masih ada saja yang korupsi. Kalau kita baca berita soal itu di koran, kita mungkin jadi pusing dan marah. Tapi ketika kita membaca puisi Mas Jokpin, ada kedalaman-kedalaman yang kita temukan,” tutur Mirna.