Pendidikan Formal Penting untuk Masuk Industri Film
Pendidikan formal dibutuhkan agar SDM siap masuk dan berkarya di industri film. Selain itu, pendidikan formal juga menawarkan pengetahuan dan kesempatan berjejaring.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
SCREENPLAY FILMS
Film London Love Story yang shooting di London.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan formal penting untuk menjamin kualitas sumber daya manusia yang hendak masuk industri perfilman. Selain memberikan pengetahuan, pendidikan formal juga membuka kesempatan bagi siswa untuk berjejaring.
Hal ini mengemuka pada diskusi ”Selaras Sineas: Pentingkah Pendidikan Formal untuk Berkarya di Industri Perfilman?”. Diskusi berlangsung secara daring pada Rabu (11/5/2022) di kanal Youtube Festival Film Indonesia.
Produser Andi Boediman mengatakan, pendidikan formal menjadi wadah untuk bertemu dengan orang-orang yang memiliki gairah (passion) di bidang film. Pertemuan itu membentuk komunitas untuk saling berdiskusi, mengembangkan wawasan, hingga mengasah kemampuan berpikir kritis. Hal ini baik untuk menjaga semangat belajar.
Diskusi “Selaras Sineas: Pentingkah Pendidikan Formal untuk Berkarya di Industri Perfilman?” berlangsung secara daring pada Rabu (11/5/2022) di kanal Youtube Festival Film Indonesia.
Selain itu, pendidikan formal juga menyediakan pengetahuan dasar yang akan dibutuhkan ketika individu masuk ke industri film. Ini membuat individu setidaknya siap untuk bekerja di lapangan.
”Jadi, sekolah bukan standar tertinggi yang mau dicapai. Namun, lulus sekolah adalah standar terendah untuk masuk ke industri (film). Misalnya, ada istilah-istilah teknis begitu masuk ke industri. Akan sulit jika dia tidak ada latar belakang (pendidikan formal) sehingga mesti diajari dulu. Di sisi lain, orang yang sekolah juga mesti merasakan pengalaman di lapangan,” kata Andi yang juga pendiri International Design School (IDS).
Sekolah perfilman setidaknya mengajarkan tujuh bidang utama di produksi film, di antaranya penulisan skenario, penyutradaraan, dan penyuntingan. Dengan mempelajari semua bidang itu, individu dapat memperoleh gambaran menyeluruh soal produksi film.
Sekolah bukan standar tertinggi yang mau dicapai. Namun, lulus sekolah adalah standar terendah untuk masuk ke industri (film).
Orang yang belajar film secara otodidak, menurut dia, biasanya fokus ke teknik pembuatan film. Mereka pun umumnya mahir. Namun, pemahaman di tujuh bidang tersebut belum tentu dimiliki.
”Mesti belajar art and craft, tidak bisa hanya craft-nya saja,” kata Budi. ”Mempelajari tujuh disiplin itu kompleks sekali. Kalau tidak holistik (pemahamannya), kita butuh kematangan umur untuk menguasai berbagai aspek sebelum betul-betul siap jadi sutradara yang matang,” katanya.
ARSIP BIOSKOP ONLINE
Suasana shooting film Story of Kale yang akan ditayangkan di Bioskoponline.com pada Oktober 2020.
Menurut sutradara dan produser Ifa Isfansyah, perkembangan teknologi membuat semua orang kini bisa membuat film. Akses informasi yang mudah juga memungkinkan orang-orang belajar secara otodidak. Namun, pendidikan formal perfilman tetap penting.
”Apabila ada orang yang tanpa sekolah bisa belajar film secara terstruktur, bisa berjejaring, dan menguasai entrepreneurship (kewirausahaan), mungkin dia tidak butuh pendidikan formal. Tapi, tidak semua orang bisa begitu,” ucap Ifa yang juga pendiri Akademi Film Yogyakarta.
Di sisi lain, sekolah formal mencetak SDM yang dibutuhkan industri film secara masif. Ini karena kurikulum di sekolah dirancang agar terstruktur. Pengajarnya pun terakreditasi.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Andi Burhamzah (27), sutradara film, mengecek persiapan sebelum melanjutkan pengambilan gambar untuk shooting film Cindolo na Tape (Cinta), di Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (15/2/2017). Industri film di Makassar sedang bergeliat beberapa tahun terakhir. Puluhan rumah produksi, belasan judul film, sejumlah sineas muda, dan miliaran rupiah lahir dari industri kreatif ini.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) Gunawan Paggaru mengatakan, asosiasi profesi menjadi wadah bagi pekerja film untuk mengasah profesionalisme dan mengembangkan keterampilan. Lulusan perguruan tinggi dan SMK perfilman agar bergabung dengan asosiasi profesi untuk mengembangkan diri.
”Begitu lulus, seharusnya mereka masuk ke asosiasi yang sesuai untuk mengembangkan diri, misalnyasoft skilluntukpublic speaking(berbicara di depan publik). Jadi, saat masuk industri, mereka mempunyai daya saing,” katanya (Kompas, 21/7/2021).
Asosiasi juga berperan strategis untuk menjembatani kebutuhan industri film dengan sistem pendidikan. Menurut dia, SDM yang ada belum sesuai dengan tuntutan industri film.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Suasana pengambilan gambar untuk shooting film Cindolo na Tape (Cinta), di Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (15/2). Industri film di Makassar sedang bergeliat beberapa tahun terakhir. Puluhan rumah produksi, belasan judul film, sejumlah sineas muda, dan miliaran rupiah lahir dari industri kreatif ini.
Sementara itu, penulis skenario Titien Wattimena mengatakan, pendidikan formal juga menjadi wadah untuk mencari dan memetakan talenta-talenta baru. Potensi dan perkembangan mereka biasanya terbaca di sekolah. Dengan bimbingan yang tepat, mereka dapat menjadi harapan untuk regenerasi industri film ke depan.
”Hal-hal seperti ini yang tidak mungkin terbaca saat workshop (lokakarya),” kata Titien yang menerima Piala Citra di bidang Penulis Skenario Adaptasi Terbaik FFI 2018 untuk film Aruna dan Lidahnya.