Seabad Rosihan Anwar, Sang Guru Pemberi Warna Pers Indonesia
Selasa (10/5/2022), menjadi peringatan 100 tahun hari lahir Rosihan Anwar, tokoh pers sekaligus sejarawan Indonesia. Semasa hidupnya, Rosihan selalu diingat sebagai guru para wartawan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
Seorang pejuang kemerdekaan, pemikir, pelaku dan pencatat sejarah, serta guru para wartawan. Begitulah sosok mendiang Rosihan Anwar di mata para tokoh yang menghadiri pemakamannya, Kamis (14/4/2011) silam di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman itu mengembuskan napas terakhir pada tanggal yang sama di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta.
Sematan itu memang tak berlebihan. Sebagai seorang yang lahir pada 10 Mei 1922, Rosihan memang pantas dipandang sebagai pejuang kemerdekaan karena telah menjadi wartawan pada usia 20 tahun pada masa pendudukan Jepang. Sejak saat itulah, Rosihan turut berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan lewat berbagai liputan dan tulisannya.
Karir Rosihan sebagai wartawan dimulai awal 1943 di surat kabar Asia Rajakemudian menjadi redaktur pelaksana Merdeka (1945-1946). Setelah itu, Rosihan menjadi pemimpin redaksi Majalah Siasat (1947) serta harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974).
Bahkan, setelah Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, Pedoman dilarang terbit, Rosihan tetap setia menjadi wartawan lepas di media dalam dan luar negeri. Beberapa media luar negeri itu di antaranya Asia Week (Hong Kong), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia), The Hindustan Times (India), Het Vriye Volk (Belanda), dan The Melbourne Age (Australia).
Sosok Rosihan sebagai pemikir atau intelektual juga disetujui oleh pengamat media sekaligus pengajar jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto. Menurut Ignatius, Rosihan memiliki ingatan yang sangat kuat dan menyimpan banyak sekali catatan. Hal inilah yang membuat Rosihan sangat bagus dalam mencatat dan meracik tulisan.
Intelektualitas Rosihan tecermin dari 30-an buku yang ia hasilkan dengan berbagai tema mengenai jurnalistik, agama, sejarah, novel, dan politik.Dari buku-buku yang ditulis tersebut, Rosihan juga merangkum sejarah Indonesia secara detail dari sudut pandangnya seperti tetralogi Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (2004).
Kemampuan Rosihan merangkum sejarah Indonesia dari berbagai periode ini tidak terlepas dari pengalamannya yang hidup pada berbagai zaman. Ignatius memandang, bersama dengan tokoh pers lainnya seperti Mochtar Lubis dan BM Diah, Rosihan merupakan wartawan yang mengalami tiga generasi.
”Rosihan Anwar bisa dibilang sebagai generasi kedua pers Indonesia setelah generasi pertama, yaitu Adinegoro dan Parada Harahap. Rosihan mengalami tiga generasi, yaitu penjajahan Jepang, kemudian saat Indonesia merdeka, dan masa orde baru,” ujarnya, Senin (9/5/2022).
Sementara sejarawan Taufik Abdullah dalam catatan Kompas (15/4/2011), menyebut bahwa Rosihan pantas mendapat julukan wartawan ”enam zaman”. Sebab, Rosihan mulai mengembangkan diri menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), lalu zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).
Sikap terhadap kekuasaan
Menurut Ignatius, dari sisi karakter, Rosihan mungkin tidak memiliki sikap hitam dan putih seperti Mochtar Lubis. Sikap Rosihan dinilai berbeda dengan Mochtar yang memiliki pandangan tegas dan jelas serta mau menerima konsekuensi atas kritikan ke pemerintah. Rosihan justru cenderung berkompromi dan bernegosiasi dengan kekuasaan.
”Contohnya pada 1950-an, Rosihan mencoba bernegosiasi dengan Soekarno atau militer saat muncul aturan yang menekan pers. Rosihan menerima pembatasan yang diberikan militer saat itu, sedangkan Mochtar Lubis menolaknya. Mochtar Lubis waktu itu bahkan mengadukan sikap Rosihan ini ke International Pers Institute,” ungkapnya.
Meski kerap berkompromi dengan kekuasaan, tetapi pada akhirnya surat kabar yang Rosihan pimpin, yakni Pedoman tetap ditutup pada 1950-an. Pemberedelan surat kabar pimpinan Rosihan juga terjadi kembali pada masa kepemimpinan Soeharto tahun 1974 saat terjadi Peristiwa Malari.
Sikap Rosihan ini diakui Ignatius menjadi salah satu yang membuat dia dekat dengan pendiri Harian Kompas Jakob Oetama. Sikap kedua tokoh pers ini dipandang hampir serupa. Mereka percaya bahwa kritik terhadap penguasa tidak harus selalu dilakukan secara langsung dan frontal, tetapi juga diperlukan negosiasi.
”Bagi orang seperti Rosihan atau Pak Jakob itu, lebih penting media tetap hidup meskipun harus sedikit melunakkan kritik dan suaranya. Bagaimanapun juga dengan sikap ini, orang seperti Rosihan memberikan warna bagi pers Indonesia,” tuturnya.
Selain intelektualitas dan sikap kompromisnya, Rosihan juga dikenal sebagai guru para wartawan karena kerap memberikan pandangan dan mengajar di berbagai forum. Rosihan dikenal tekun dan telaten memberikan pengajaran kepada wartawan muda agar setia menjalankan profesinya dan berpegang pada kode etik.
Kenangan menjadi seorang murid Rosihan dirasakan langsung oleh wartawan senior yang dikenal sebagai pelopor jurnalistik infotainmen Indonesia, Ilham Bintang. Dalam catatan mengenang Seabad Rosihan Anwar, Ilham menyebut bahwa ia bangga menjadi seorang murid ”Begawan Pers Nasional”.
Ilham mengenang Rosihan sebagai sosok yang sangat menekuni profesi wartawan dan konsisten bersikap kritis hingga akhir hayat. Rosihan dipandang tak pernah diam menghadapi berbagai ketimpangan dan tak pernah berhenti menulis hingga ajal menjemput. Rosihan bahkan sempat menanyakan kepada Ilham tentang tulisan kolomnya saat tengah menjalani perawatan di rumah sakit beberapa minggu sebelum meninggal.
”Menulis bagaikan tarikan napas sehari-hari bagi Pak Ros. Setiap minggu beliau bisa melayani permintaan artikel dari belasan media, daerah, nasional, dan internasional. Ribuan tulisannya dimuat berbagai media, di daerah, nasional maupun internasional,” kenangnya.
Rosihan Anwar mungkin telah tiada. Namun, warisannya mengenai kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis akan selalu hidup serta menjadi pembelajaran abadi bagi generasi muda wartawan Indonesia.