G20 Perlu Perhatikan Perlindungan Perempuan Pekerja Informal
Perempuan pekerja sektor informal, merupakan kelompok rentan. Karena itu, isu perempuan pekerja informal penting untuk masuk dalam pembahasan agenda ketenagakerjaan di masa Presidensi Indonesia G20 tahun 2022.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh perempuan menggendong pasir dan batu yang ditambang di Sungai Grawah, Desa Gubug, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020).
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kelompok pekerja rentan yang sebagian besar perempuan, semakin rentan saat pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun ini. Sebagian besar perempuan pekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja migran, bahkan perempuan nelayan dan petani, tidak tercakup dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial.
Situasi dan kondisi yang dihadapi perempuan pekerja di sektor informal, seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, menyusul posisi Indonesia sebagai tuan rumah G20 pada 2022. Pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial bagi perempuan pekerja sektor informal, baik di dalam maupun luar negeri, hendaknya menjadi bagian dari komitmen pemerintah. Bahkan, pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) diharapkan menjadi rekomendasi G20.
Harapan ini mengemuka dalam Diskusi ”Menuju Perluasan Kesempatan Kerja dan Pelindungan Tenaga Kerja Yang Inklusif” yang merupakan Side Event Employment Working Group G20, yang digelar oleh Migrant Care dalam kapasitas sebagai anggota Working Group SDGs & Humanitarian C20 Indonesia, Senin (9/5/2022) di Yogyakarta, DI Yogyakarta. Acara yang didukung para mitra inklusi, yakni Aisyah, Institut KAPAL Perempuan, Pekka, serta Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB)dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi.
Indonesia harus membuat praktik baik yang nyata. (Risnawati Utami)
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, kendati perempuan pekerja di sektor informal merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pandemi, sebagian besar dari mereka tidak tercakup tidak tercakup dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial. Oleh karena itu, isu perempuan pekerja sektor informal penting sekali masuk dalam pembahasan agenda ketenagakerjaan di masa presidensi Indonesia G20 tahun 2022. Forum Kepemimpinan Indonesia dalam G20, diharapkan akan mendorong adanya akses pada layanan, kesempatan kerja dan mata pencarian untuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan, dan memastikan tidak boleh siapa pun tertinggal(no one left behind).
”Ini merupakan tagihan masyarakat sipil terhadap komitmen Presidensi Indonesia di G20 yang menjanjikan akan memperjuangkan prinsip-prinsip inklusivitas, kemudian memperjuangkan aspirasi kepentingan negara miskin dan berkembang, serta kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan,” ujar Wahyu.
Padat karya
Anwar Sanusi menegaskan, berbagai upaya dilakukan pemerintah dan berbagai pihak untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat semasa pandemi, misalnya, pada awal pandemi, dengan menciptakan lapangan kerja terhadap angkatan-angkatan kerja melalui pendekatan padat karya serta swakelola. Kendati demikian, perlu ada respons berkelanjutan dan jangka panjang yang akan memberikan kesempatan, ruang bagi setiap orang untuk mendapatkan pendapatan untuk peningkatan kesejahteraan.
”Karena itu, kami Kementerian Ketenagakerjaan mengusung program human capital development. Ini tema yang selalu kami angkat karena ini selalu menjadi persoalan. Kami juga mendorong tema yang lebih spesifik, yakni bagaimana keterlibatan dari masyarakat untuk memberikan peran, keahlian, atau keterampilan masyarakat, melalui balai latihan kerja komunitas,” ujarnya.
Berbagai langkah pemerintah untuk mendukung pekerja informal juga disampaikan Hindun Anisah, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan. Khusus untuk isu pekerja rumah tangga (PRT), Kementerian Ketenagakerjaan juga mendorong dibahas dan disahkannya RUU PPRT menjadi UU.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengguna sepeda motor melintas di depan mural berisi kritik tentang pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tidak kunjung selesai di Jembatan Kewek, Yogyakarta, Selasa (28/12/2021).
Adapun Nani Zulminarni, Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) menyuarakan pentingnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjawab berbagai akar persoalan dari kerentanan perempuan, dan melakukan pengembangan dalam usaha mikro kecil dan menengah.
Risnawati Utami, anggota UN Committee on the Rights People with Disability berharap G20 mengusung isu hak asasi manusia sehingga prinsip tidak ada satu pun yang tertinggal dalam pembangunan, termasuk disabilitas bisa terlaksana dan tidak ada lagi pelanggaran hak penyandang disabilitas. Sudah saatnya meninggalkan cara pandang yang melihat disabilitas sebagai beban negara dan tidak produktif.
Presidensi Indonesia dalam G20 akan melahirkan langkah-langkah nyata terkait perlindungan terhadap perempuan pekerja yang disabilitas. ”Indonesia harus membuat praktik baik yang nyata,” kata Risnawati.
Rita Olivia Tambunan, Mondial FNV Netherland 6 berharap perluasan kesempatan kerja dan pelindungan tenaga kerja yang inklusif harus benar-benar menyasar pada kelompok-kelompok pekerja informal baik PRT, pekerja rumahan, hingga pekerja di sektor perikanan, pertanian, dan sebagainya.