Diaspora Indonesia dengan segala potensinya bisa menjadi daya ungkit yang dahsyat bagi sesama diaspora maupun warga di Tanah Air. Mereka adalah aset yang sangat berharga bagi bangsa ini.
Oleh
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kongres I Diaspora Indonesia di Los Angeles, Amerika Serikat tahun 2012 menegaskan, warga atau keturunan Indonesia yang bermukim di berbagai negara, yang memiliki keahlian, pendidikan, jaringan, kemampuan, dan kelebihan lain dalam skala global, adalah aset yang sangat berharga bagi bangsa ini. Mereka yang menjadi diaspora, baik yang masih menjadi warganegara Indonesia atau memilih menjadi warganegara lain, adalah miniatur peradaban dunia dengan kebinekaannya, serta bisa saling membantu dan menguatkan sesama diaspora atau dengan warga di Indonesia.
Umumnya warga diaspora masih memiliki ikatan yang kuat dengan negeri ini. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan hal itu kembali, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Pelaksana Tugas Direktur (Plt) Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama AM Adiyarto Sumardjono, Sabtu (7/5/2022) malam pada Perayaan Paskah Bersama Diaspora Katolik Indonesia Sedunia. Perayaan bertemakan "Indonesia to The Continents" (Indonesia bagi Benua-benua) itu diikuti sekitar seribu warga Indonesia dari sekitar 70 negara secara dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).
Perayaan paskah diaspora Indonesia itu digelar bersama Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI), Missionaris Indonesia, Ikatan Rohaniwan-Rohaniwati Indonesia Di Kota Abadi atau Roma (IRRIKA), Jaringan Komunitas Katolik Indonesia (KKI) Diaspora Sedunia, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Tahta Suci (Vatikan). Acara dimulai dengan misa yang dipimpin Romo Leonardus Mali Pr dan Romo Markus Solo Kewuta SVD dari Vatikan, dengan kotbah oleh Pemimpin Umum Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) Pastor Agustinus Purnama Sastrawijaya di Norwegia. Paduan suara dan doa yang mengiringi, antara lain berasal dari Indonesia, Jepang, Singapura, Perancis, Italia, Amerika Serikat, Italia, Belanda, dan Kenya.
"Jumlah diaspora Indonesia itu sekitar 8 juta orang. Itu data tahun 2015. Kini pasti lebih banyak lagi,” imbuh Adiyarto. Menurut Menag, mereka yang saat ini menjadi diaspora adalah aset luar biasa bagi bangsa ini. Makanan, kesenian, dan keunikan lainnya di Indonesia membuat diaspora terus memiliki ikatan batin dan emosi yang kuat dengan Nusantara. Bahkan, tak sedikit diaspora yang membuka restoran, seperti warung rawon di Philadelphia, AS; atau masakan Nusantara di Melbourne, Australia; atau di berbagai kota lain bukan hanya untuk mengatasi rasa kangen atas masakan negeri ini, tetapi juga untuk menguatkan kebersamaan sebagai warga yang mencintai Indonesia dan turut serta membangun Tanah Air.
Menag menambahkan, diaspora Indonesia dengan segala potensinya bisa menjadi daya ungkit yang dahsyat bagi sesama diaspora maupun warga di Tanah Air. “Indonesia adalah miniatur peradaban dunia, karena kebinekaannya. Jika kita dengan sadar menghargai kebinekaan dan keberagamaannya justru itu adalah kekuatan kita sebagai bangsa karena bisa saling melengkapi dan bekerja sama satu sama lain,” katanya. Perbedaan adalah kekuatan bangsa dan solusi Indonesia, bukan permasalahan.
Agama adalah inspirasi untuk membangun kebersamaan, persaudaraan, persatuan, dan toleransi. Sudah saatnya toleransi Indonesia menjadi barometer di dunia, dan terus digaungkan. Diaspora mempunyai peran yang penting untuk terus menggaungkan toleransi di Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Keluarga Katolik diaspora dan misionaris Indonesia yang tersebar di berbagai negara, apapun profesinya, diharapkan terus menggaungkan tentang kebinekaan Indonesia.
Cerita diaspora
Ketua Panitia Paskah Diaspora Katolik Indonesia AM Putut Prabantoro dan Panasihat PWKI Kornelius Purba mengungkapkan, diaspora Katolik Indonesia sangat antusias mengikuti kegiatan kebersamaan itu. Mereka pun berbagi kisah. Diaspora Katolik Indonesia, khususnya Misionaris, saat ini berkaya di negara yang sedang dilanda konflik atau persoalan kemanusiaan lain, seperti di Myanmar, Ukraina, Brasil, Rusia, Khazaktan, Kuba, dan sejumlah kawasan di Afrika.
Mereka berkarya dengan mengingat dan membawa nilai-nilai kebajikan yang diperoleh dari Tanah Air. Kearifan yang diperoleh dari keluarga dan masyarakat Indonesia, dalam banyak cerita, menjadi alat bantu untuk bisa diterima oleh komunitas di negara lain, yang sebelumnya tak mudah menerima orang lain, walaupun berniat membantu dan memajukan mereka.
Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo menambahkan, Indonesia oleh Paus Fransiskus disebut sebagai wilayah yang subur bagi panggilan untuk menjadi misionaris. Mereka tersebar di banyak negara, bahkan tak sedikit yang menjadi pimpinan organisasi misi. Hal ini adalah kebanggaan dan menjadi aset bangsa pula.
Kardinal Suharyo menambahkan, siapa pun kita mempunyai panggilan yang sama. Ajaran Gereja mengatakan apapun status kita, panggilan untuk bertumbuh menuju kesempurnaan kesucian, bertumbuh untuk mencapai kesempurnaan kasih, dan kepenuhan hidup Kristiani harus terus dikembangkan. Dalam paparannya secara daring, Kardinal juga mengaku sering bertemu misionaris yang baru kembali dari tempat mereka diutus, termasuk dari negara yang berbahaya atau konflik. “Kita juga boleh berbangga karena sejumlah tarekat religius internasional dipimpin oleh religius asal Indonesia,” imbuh Uskup Agung Jakarta itu.
Menurut Kardinal Suharyo, sejumlah imam, bruder, dan suster yang berasal dari keluarga nonkatolik serta tak sedikit yang berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan dan anak tunggal. Mereka bisa menemukan makna kehidupan saat melakukan pelayanan bagi orang lain, termasuk di negara yang sebelumnya tak pernah dikunjungi. Peran keluarga dalam menumbuhkan panggilan dan pelayanan, adalah sangat menentukan.
Kardinal Suharyo juga mempersilakan peserta Perayaan Paskah Bersama ini untuk membaca anjuran Apostolik Paus Fransiskus yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berjudul “Bersukacita dan Bergembiralah, Panggilan Menuju Kesucian pada Jaman Modern”. “Ketika kita sadar, bahwa hidup itu adalah panggilan untuk kita tanggapi, yang terakhir adalah siap untuk diutus. Maka hidup berkeluarga itu adalah perutusan,” ucapnya.