Implementasi Kurikulum Merdeka secara Mandiri Dibagi Tiga Kategori
Implementasi Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran baru 2022/2023 diperluas secara mandiri di luar sekolah penggerak/pusat keunggulan. Implementasi dibagi dalam tiga kategori.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Implementasi Kurikulum Merdeka mulai dilaksanakan masif secara mandiri di jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah pada tahun ajaran baru 2022/2023 sesuai kesiapan sekolah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan sekolah/madrasah yang akan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dalam tiga kategori.
Berdasarkan data laman kurikulum.gtk.kemdikbud.go,id, pada Minggu (8/5/2022), terdata 143.265 satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek dan Kementerian Agama yang mendaftar untuk melaksanakan Kurikulum Merdeka secara mandiri. Secara bertahap, untuk tahap 1 sudah diterbitkan surat keputusan bagi satuan pendidikan untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, yakni kategori mandiri belajar sebanyak 35.334 satuan pendidikan, kategori mandiri berubah sebanyak 59.429 satuan pendidikan, dan kategori mandiri berbagi sebanyak 3.607 satuan pendidikan. Ke depan, satuan-satuan pendidikan lainnya juga akan mendapatkan surat keputusan.
Di webinar Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk ”Kupas Tuntas Implementasi Kurikulum Merdeka”, Minggu (8/5/2022), anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengingatkan pemerintah agar Kurikulum Merdeka ini tidak dilaksanakan tergesa-gesa di banyak sekolah, tapi perlu dimatangkan dulu. ”Persiapan implementasi ini harus jelas betul dari pelatihan guru, aturan hukumnya, hingga anggaran,” kata Ferdiansyah.
Praktisi pendidikan dan pendamping guru Aulia Wijiasih mengatakan, perubahan untuk perbaikan mutu, termasuk lewat implementasi Kurikulum Merdeka, tentu saja harus didukung. Namun, belajar dari pengalaman perubahan kurikulum selama ini, hal-hal penting sebenarnya sudah ada. Contohnya, sekolah yang bisa membuat kurikulum tingkat satuan pendidikan yang kontekstual, pembelajaran aktif hingga berbasis proyek, maupun pembelajaran yang berpusat pada siswa.
”Namun, tetap belum dipahami secara optimal. Karena itulah, keberhasilan ini bukan ditentukan dari kurikulum yang berganti-ganti, karena semangatnya sama. Tapi bagaimana perubahan ini bisa membuat visi sekolah dan guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, hingga pemerintah daerah itu benar-benar seperti yang diharapkan. Ini yang belum juga terjadi,” kata Aulia.
Sementara itu, M Fatkoer Rohman, salah satu kepala sekolah SMA yang sekolahnya terpilih sebagai sekolah penggerak angkatan kedua tahun ajaran 2022/2023, mengatakan, kurikulum bukan sebatas materi/mata pelajaran. Pemahaman ini yang harus dikuatkan pada pihak guru/sekolah agar implementasi Kurikulum Merdeka berdampak. Tidak seperti pada pergantian kurikulum selama ini, guru tetap saja dengan cara mengajar yang sama dengan ceramah dan pembelajaran yang tidak berpusat pada siswa.
”Kalau ditelusuri, sebenarnya tidak jauh berbeda Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013. Memang ada istilah-istilah baru yang kalau dipahami sebenarnya merangkum dari yang ada. Tantangannya ini ketika guru-guru mengembangkan sendiri tujuan pembelajaran, di sini letak kelemahan banyak guru. Memang guru diberi kemerdekaan, tapi apakah guru siap menangkap hal ini? Karena ketika membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) saja belum semua mampu, apalagi merumuskan alur tujuan pembelajaran (semacam kompetensi dasar). Penguatan untuk kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah ini memang jadi penting,” kata Fatkoer.
Menurut Fatkoer, sekolah yang mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan program sekolah penggerak akan mendapatkan dukungan anggaran. Kesiapan sekolah dimulai dengan pembentukan Komite Pembelajaran yang terdiri dari kepala sekolah, guru bimbingan konseling, dan empat guru lain. Tim sekolah ini akan mendapatkan pendampingan dari pemerintah.
”Selama ini kurikulum itu tantangannya pada implementasi yang tidak berjalan mulus. Berpusat siswa, inquiry, pembelajaran berbasis proyek, atau kolaboratif sebenarnya sudah ada, tapi tidak berjalan. Sekarang di Kurikulum Merdeka, ada porsi pembelajaran berbasis proyek 25-30 persen. Saya berpikir positif saja, siapa tahu dengan diubah kurikulum, jadi semacam pemicu bagi guru-guru untuk berubah ke pembelajaran yang berpusat pada siswa,” ujarnya.
Proses uji coba
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, jika pengembangan kurikulum masih dalam tahap prototipe, berarti kurikulum masih cair. Artinya, masih dalam proses uji coba sehingga belum bisa digunakan secara umum.
”Ada moral dan etika dalam pengembangan kurikulum yang juga harus diikuti, bukan hanya hal teknis. Pertanggungjawaban dari pemberlakuan tiga kurikulum, yakni Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka ini harus jelas. Hal ini jadi persoalan besar dalam pengembangan kurikulum ketika pilihan itu tidak sama,” kata Hamid.
Implementasi Kurikulum Merdeka secara mandiri, di luar 2.500 sekolah penggerak/pusat unggulan, dimulai pada tahun ajaran 2022/2023. Implementasi Kurikulum Merdeka melalui jalur mandiri dimulai dari usia 5-6 tahun pada jenjang pendidikan anak usia dini serta kelas I dan kelas IV SD. Lalu, kelas VII SMP dan kelas X SMA/SMK sederajat.
Terkait dengan kategori implementasi Kurikulum Merdeka jalur mandiri dijelaskan, bahwa mandiri belajar berarti satuan pendidikan menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Merdeka dengan tetap menggunakan Kurikulum 2013 atau Kurikulum 2013 yang disederhanakan. Mandiri berubah berarti menerapkan Kurikulum Merdeka menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan. Lalu, mandiri berbagi menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar.
Pada dimensi kualitas, kita ingin memastikan agar semua anak, semua peserta didik, mendapatkan pengalaman belajar yang membuat mereka bisa memiliki karakter dan kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi masa depannya. (Anindito Aditomo)
Kemendikbudristek juga mulai menyosialisaikan ketersediaan buku-buku Kurikulum Merdeka. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Jumeri, lewat surat edarannya mengatakan, pengadaan buku-buku teks Kurikulum Merdeka di sekolah pelaksana dilakukan melalui mekanisme Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah (SIPLah) dengan memesan pada penyedia yang sudah ditetapkan. Proses pemesanan untuk sekolah hingga April ini, sedangkan yang bukan pelaksana program sekolah penggerak hingga Mei.
Adapun pembiayaan untuk pengadaan buku-buku teks Kurikulum Merdeka di Sekolah Penggerak dari bantuan operasional sekolah (BOS) kinerja 2022, bantuan operasional pendidikan (BOP) kinerja 2022, bantuan pemerintah, maupun dana mandiri. Sekolah yang bukan pelaksana program sekolah penggerak juga sama, hanya untuk BOS/BOP berasal dari yang reguler.
Secara terpisah, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, buku-buku teks Kurikulum Merdeka telah melalui proses penelaahan dan revisi sebelum digunakan di satuan pendidikan. Evaluasi terhadap buku-buku tersebut terus dilakukan, termasuk melalui pengumpulan umpan balik dari guru yang telah menggunakannya.
”Hasil evaluasi ini akan digunakan untuk terus memperbaiki buku-buku teks tersebut. Hak cipta dari buku-buku teks yang disusun oleh Kemendikbudristek merupakan milik Kemendikbudristek,” ujar Anindito.
Anindito menegaskan, perubahan paradigma kurikulum merupakan salah satu kebijakan Kemendikbudristek yang bersama-sama dirancang demi cita-cita Merdeka Belajar untuk mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada dua dimensi dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu dimensi kualitas dan keadilan.
”Pada dimensi kualitas, kita ingin memastikan agar semua anak, semua peserta didik, mendapatkan pengalaman belajar yang membuat mereka bisa memiliki karakter dan kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi masa depannya. Inilah definisi pendidikan yang berkualitas,” kata Anindito.
Untuk dimensi keadilan, Anindito menjelaskan, Kemendikbudristek ingin memastikan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan berkualitas dapat diberikan secara adil kepada semua anak terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau di mana mereka tinggal. Karena itu, kebijakan Merdeka Belajar mempunyai nuansa atau sifat asimetris.
”Kita ingin memberi target, intervensi, dan program yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Jadi program-program yang kita rancang itu tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan intervensinya, tapi justru untuk memberi ruang bagi intervensi yang kontekstual,” jelas Anindito.