Benda Cagar Budaya, Potensi Besar Pengembangan Museum
Benda-benda cagar budaya dapat dioptimalkan untuk pengembangan museum. Kuncinya ada di inovasi dan kreativitas para pengelola museum.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penetapan koleksi museum sebagai benda cagar budaya merupakan modal besar pengembangan museum. Benda cagar budaya juga dapat jadi atraksi utama museum. Inovasi dan kreativitas pengelola museum pun dibutuhkan.
Menurut Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) DKI Jakarta Paramita Jaya Yiyok T Herlambang, benda cagar budaya memperkuat identitas museum. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menarik minat pengunjung.
“Museum Louvre di Paris, misalnya, identik dengan lukisan Mona Lisa. Banyak orang berkunjung ke sana demi melihat lukisan itu. Ada pula Museum Topkapi di Turki yang menampilkan tongkat Musa hingga baju-baju tentara zaman dulu. Sejarah menjadi kekuatan museum tersebut,” kata Yiyok saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/5/2022).
Sebelumnya, ada enam koleksi museum di DKI Jakarta yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh pemda setempat. Sebanyak empat di antaranya adalah lukisan koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta. Lukisan pertama adalah potret Bupati Cianjur ke-9 Raden Adipati Kusumaningrat (1852) karya Raden Saleh.
Kedua, lukisan Pengantin Revolusi (1955) karya Hendra Gunawan. Ketiga, lukisan Prambanan/Seiko (1949) karya S Sudjojono. Keempat, lukisan Dewi (1962) karya Agus Djaya.
Sementara itu, dua koleksi museum lain yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya adalah Meriam Si Jagur yang dibuat pada 1652, serta mobil Rep-1 Kendaraan dinas pertama Presiden Soekarno yang diproduksi pada 1939. Ini pertama kalinya koleksi museum-museum Pemprov DKI Jakarta ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
Yiyok mengatakan, narasi benda cagar budaya di museum mesti dikemas secara menarik. Alih wahana narasi dapat dilakukan, misalnya mengubah narasi menjadi dongeng, film pendek, gim, atau disampaikan melalui lokakarya dan seminar. Hal ini butuh kreativitas dan inovasi pengelola museum. Pengelola museum pun didorong bekerja sama dengan pihak yang kompeten untuk itu.
“Jangan sampai orang datang, melihat koleksi, lalu pulang. Itu gaya kuno. Museum bergaya modern mestinya dikemas secara atraktif,” ucap Yiyok.
Museum Louvre pernah membuat pameran “Mona Lisa: Beyond the Glass” pada 2019. Teknologi realitas virtual (virtual reality/VR) digunakan untuk “menghidupkan” sosok Mona Lisa yang dilukis oleh Leonardo da Vinci di tahun 1500-an tersebut.
Selama delapan menit, audiens diajak “masuk” ke dalam lukisan dan bertemu Mona Lisa alias Lisa Gherardini. Mona Lisa akan menunjukkan ke audiens bagaimana rambutnya ditata, hingga pakaian apa yang dikenakan saat dilukis oleh da Vinci. Audiens juga dapat melihat proses pembuatan lukisan.
Pameran berbasis teknologi tersebut merupakan hasil riset mendalam dan diskusi. Hal itu termasuk pemindaian lukisan dengan sinar-x dan reflektografi inframerah.
Sebelumnya, Kepala Unit Pengelola Museum Seni Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, pihaknya akan menggunakan teknologi untuk menarasikan empat lukisan cagar budaya, misalnya dengan gim daring. Hal ini masih dalam pembahasan pihak museum.
“Dengan teknologi, kita bisa bercerita ada apa saja di balik (lukisan) itu. Misalnya, kita bisa turut menceritakan siapa pelukisnya dan kehidupan sang pelukis,” kata Sri.
Amanat UU
Saat dihubungi terpisah, Pamong Budaya Ahli Utama Permuseuman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Siswanto mengatakan, penetapan koleksi museum sebagai benda cagar budaya merupakan amanat UU Cagar Budaya. Namun, penetapannya terkendala.
“Ada banyak koleksi museum yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Namun, masih banyak juga yang belum ditetapkan. (Terkadang) kendalanya di catatan (pelengkap koleksi), seperti dari masa asal bendanya. Koleksi yang catatannya lengkap diutamakan (untuk didaftarkan sebagai cagar budaya),” tutur Siswanto.
Status cagar budaya menjadikan koleksi museum sebagai aset negara. Status ini menjamin perlindungan dan pemeliharaan koleksi oleh negara.
Siswanto menambahkan, koleksi yang ditetapkan sebagai cagar budaya mesti dapat perlindungan lebih dari sebelumnya. Potensi kerusakan akibat bencana, kebakaran, maupun ulah manusia mesti dicegah.
Pencurian juga mesti dicegah. Hal itu mengingat sejumlah kasus yang pernah terjadi. Pada 2021, ratusan benda bersejarah di museum Sulawesi Tenggara hilang dicuri. Kejadian ini tidak hanya menyebabkan kerugian materi, namun juga kehilangan sejarah dan pengetahuan.
Pencurian serupa juga pernah terjadi di pekuburan kuno di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau pada 2021. Berbagai artefak kuno hilang dicuri dari kejadian itu. Pada Januari 2022, koleksi Museum Lapawawoi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan juga sempat raib diambil juru pelihara situs.
Siswanto mengatakan, pencatatan benda-benda cagar budaya di Sistem Registrasi Cagar Budaya Nasional masih berlangsung. Hal ini melibatkan pemerintah daerah.
“Inventarisasi cagar budaya pernah dilakukan pada tahun 1990-an. Tapi, karena perubahan teknologi, datanya tidak bisa dibaca lagi. Sistemnya sudah beda,” kata Siswanto yang turut serta dalam proses inventarisasi. “Ini akan dibenahi,” tambahnya.
Penetapan cagar budaya pun mesti diikuti dengan sosialisasi ke publik. Tujuannya agar pengetahuan masyarakat bertambah. Ini juga membuat masyarakat kenal dengan sejarah bangsanya. Inovasi dan kreativitas pengelola cagar budaya, termasuk museum, pun dibutuhkan.