Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja hingga kini masih menjadi ancaman terhadap perempuan. Kehadiran regulasi yang mengatur pencegahan dan penghapusan kekerasan menjadi kunci dalam melindungi perempuan pekerja.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei selalu menjadi momentum bagi para pekerja atau buruh, termasuk perempuan pekerja untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan. Bebas dari berbagai kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi di dunia kerja, menjadi narasi yang terus diteriakkan, seperti yang dilakukan pada Hari Buruh Internasional, Minggu (1/5/2022).
Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional 2022, para perempuan pekerja bersama aktivis yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja juga mendesak pemerintah segera membahas dan meratifikasi Konvensi ILO 190. Ratifikasi tersebut menjadi kunci penyelesaian persoalan kekerasan dan pelecehan yang banyak dialami pekerja di Indonesia, terutama para perempuan pekerja.
“Konvensi ini dibutuhkan karena tempat kerja yang menjadi tempat seseorang (terutama perempuan pekerja) menghabiskan hampir sebagian besar waktunya masih dihantui dengan risiko kekerasan dan pelecehan seksual,” ujar Dian Septi Trisnanti, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) pada konferensi pers menyambut May Day 2022, Sabtu (30/4).
Ratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 menjadi penting, karena akan memberikan landasan hukum bagi semua pihak tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja, baik pekerja, manajemen, maupun serikat buruh untuk menghadapi masalah ini.
Konvensi ILO 190 tentang Stop Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja merupakan konvensi yang spesifik karena melindungi pekerja dari rumah hingga di tempat kerja dan kembali lagi ke rumah. Konvensi itu tak hanya mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja saja, tapi juga di dunia kerja.
“Konvensi ini memberikan pengakuan kepada seluruh pekerja tidak hanya pekerja formal tetapi juga non-formal. Artinya konvensi ini juga mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja,” ujar Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika.
Bahkan, konvensi ILO 190 juga mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang banyak dialami pekerja perempuan akan berimbas pada kerja-kerja mereka. Konvensi tersebut juga mengakui orang yang magang, relawan sebagai pekerja.
Ratifikasi Konvensi ILO 190 sangat penting karena tidak hanya melindungi perempuan pekerja secara umum, tetapi juga perempuan pekerja disabilitas yang sejak mulai perekrutan kerja hingga masuk kerja mengalami diskriminasi.
Rentan kekerasan dan eksploitasi
Perempuan pekerja di pabrik misalnya, mengalami tantangan tersendiri. Berbagai kekerasan dan eksploitasi, termasuk upah yang tidak layak menjadi bagian keseharian mereka. Diberhentikan secara sepihak, tanpa uang pesangon, juga dialami sejumlah perempuan pekerja. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, perempuan pekerja menghadapi tantangan berlapis.
Sebagai contoh, perempuan pekerja garmen. Di masa pandemi, mereka sangat rentan tidak diperpanjang kontrak kerjanya, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, bekerja tanpa perlindungan dan keamanan kerja memadai. Sejumlah perempuan bahkan bekerja dengan berisiko keguguran dan ancaman kesehatan.
Siti, dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) mencontohkan, saat pandemi, anggotanya mengalami kesulitan ekonomi karena upah yang jauh dari layak. Selain bekerja di pabrik, mereka harus mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pengemudi ojek daring, atau berdagang.
Situasi bekerja yang rentan kekerasan dan eksploitasi, upah yang tidak layak, dan tidak mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan maupun kesehatan, hingga kini dialami pula para pekerja rumah tangga (PRT). Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) berharap pada hari Buruh 2022, DPR dan pemerintah segera mewujudkan Undang-Undang Perlindungan PRT yang akan memberikan pengakuan atas status profesinya.
Sejumlah pengalaman pahit yang dialami perempuan pekerja di pabrik selama pandemi Covid-19 diangkat dalam buku Bertahan Hidup dan Diabaikan: Pengalaman 10 Buruh Ibu Dalam Pusaran Pandemi yang ditulis Dian Septi.
Salah satu kisah yang diangkat adalah nasib Eva, perempuan pekerja di salah satu perusahaan garmen di wilayah Kawasan Berikat Nusantara di wilayah Cakung, Jakarta Utara. Eva bekerja mengoperasikan dua mesin jahit dan harus menjalani hari-hari yang berat sejak dirinya mengandung hingga melahirkan. Dia harus mengoperasikan mesin jahit yang biasanya dioperasikan oleh laki-laki pekerja.
Minimnya perlindungan terhadap perempuan pekerja terjadi karena sistem ekonomi yang berjalan belum berperspektif jender. Situasi khusus perempuan seperti siklus reproduksi sering tidak diakui.
“Ketika haid, meski sudah diatur dalam Undang-Undang, perempuan pekerja harus menunjukkan surat dokter sebagai bukti sakit, baru bisa memperoleh cuti haid. Bahkan, saat perempuan hamil masih dianggap tidak produktif dan membebani ongkos produksi,” papar Dian.
Karena itulah, pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan semangat dalam upaya perlindungan perempuan pekerja dari berbagai kekerasan seksual. Apalagi, dalam UU TPKS mengatur pidana bagi korporasi sebagai pelaku. Karena itu, setelah nanti diundangkan diharapkan ada perjanjian bersama supaya UU tersebut lebih mengikat semua pihak.
Kasus meningkat
Pentingnya ratifikasi Konvensi ILO 190 juga sering disuarakan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), seiring masih banyaknya kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Pada tahun 2020, setidaknya ada 64 pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja.
Pada tahun 2021, jumlah pengaduan meningkat. Komnas Perempuan menerima 108 kasus kekerasan di dunia kerja, yang mencakup pelanggaran hak-hak dasar seperti hak perlindungan kerja yang layak, hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
“Secara khusus ada delapan kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja dilaporkan ke Komnas Perempuan yakni pencabulan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan yang terjadi di lingkungan perusahaan swasta, lembaga pemerintah, Bank BPD, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia hiburan,” ujar Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, Rabu (4/5)
Kajian Komnas Perempuan pada tahun 2021, terkait urgensi ratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, memperlihatkan fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan pekerja seringkali dianggap ringan. Pelaku berada pada posisi sebagai atasan, penentu nasib, orang terhormat, rekan kerja, atau orang tak dikenal.
Hingga kini isu kekerasan seksual belum dianggap sebagai isu utama ketenagakerjaan yang seharusnya berbasis hak. Padahal, dampak kekerasan memiliki rantai yang panjang pada perusakan langsung, mulai dari fisik, psikis hingga kematian. Korban kekerasan menghadapi dampak secara bertahap, mulai dari menurunnya imunitas dan produktivitas sampai memicu dampak lanjutan berupa kehilangan pekerjaan atau menjadi disabilitas, pemiskinan dan kehilangan hak hidup.
Karena itulah, selain mendorong ratifikasi Konvensi ILO 190, Komnas Perempuan juga terus mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan PRT karena situasi mereka yang makin rentan.
Pada tahun 2021, Komnas Perempuan menerima laporan 12 kasus kekerasan terhadap PRT. Situasi mereka yang minim perlindungan sosial dan kesehatan juga berpotensi menjerumuskan mereka pada lingkaran kemiskinan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, pengarusutamaan jender di tempat kerja bukan sekedar kepentingan perempuan, tapi juga berkorelasi terhadap kemajuan perusahaan. Upaya tersebut juga memberikan keuntungan bagi perusahaan berupa peningkatan produktivitas dan kinerja pegawai, dan peningkatan profit.
Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus, baik secara fisiologis, seperti dapat datang bulan, hamil, dan menyusui sehingga diperlukan strategi khusus dan spesifik demi memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itu, penting bagi tempat kerja untuk memberikan pemenuhan hak atas kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan tersebut.