Hadapi Beban Berlapis, Perempuan Tetap Berdaya
Dua tahun terakhir menjadi ”pertarungan” berat bagi para perempuan, terutama perempuan kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas perekonomian keluarga. Pandemi Covid-19 memunculkan beban berlipat kepada mereka.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari dua tahun menjadi arena ”pertempuran ” tersendiri bagi perempuan. Perempuan dipaksa beradaptasi cepat melayani, menjaga kesehatan, hingga mempertahankan perekonomian keluarga.
Apalagi, beban ganda yang sudah dijalani sebelum pandemi, mendadak berubah menjadi beban berlapis-lapis saat hampir semua aktivitas berpusat di rumah. Perempuan pekerja, misalnya, tak hanya sebagai ibu rumah tangga yang memastikan semua urusan domestik tertangani, tapi juga harus berperan menjadi guru bagi anak-anaknya, sekaligus memastikan pekerjaannya tidak terganggu.
Bahkan, dua tahun terakhir menjadi pertarungan berat bagi para perempuan —terutama perempuan kepala keluarga —yang harus bertanggung jawab atas perekonomian keluarga agar keluarga bisa melanjutkan hidup.
Krisis ekonomi yang mendera tanpa jeda mendorong para perempuan bangkit. Di sejumlah daerah, bahkan di wilayah perdesaan, sejumlah perempuan menggerakkan perekonomian, bahkan menjadi pelopor berbagai aksi pemberdayaan yang menguatkan perekonomian keluarga.
Mereka memilih tak menyerah pada pandemi. Di tengah ancaman virus korona yang terus berganti variannya, sejumlah perempuan mencari berbagai cara agar keluarganya tetap bertahan melewati krisis.
Tak hanya berhasil melewati krisis, sejumlah perempuan bahkan tampil menjadi pelopor dan penggerak ekonomi di tingkat komunitas di desa-desa. Mereka tak kehilangan semangat, daya, dan akal, ketika menghadapi krisis di masa pandemi.
Romlawati, Co-Director Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), saat tampil berbicara pada Smart Talks #2: ”Peringatan Hari Kartini: Merayakan Emansipasi Pemberdayaan Ekonomi Perempuan dalam Situasi Pandemik Covid-19” pada Selasa (26/4/2022), menggambarkan kegigihan para perempuan anggota Pekka saat hadapi pandemi.
Seperti yang dilakukan Rahma, perempuan tiga anak, salah satu kader Pekka di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menggerakkan komunitasnya di Bima. Saat pandemi, dia memiliki usaha jualan pakaian dan beras serta menjadi guru. Bersama anggota Pekka dia juga berjualan kue ke warung-warung dan mengelola dana simpan pinjam. Tapi sejak pandemi, kondisinya berubah sekali.
”Sebagian anggota mereka yang buruh tani. Karena situasi cukup berat, beberapa anggota jadi buruh tani ke daerah lain, di Sumbawa. Rahma melihat itu, dia mencoba mendekati pemerintah desa agar memesan masker kain. Beberapa menjadi penjahit, Rahma mengoordinasi, tapi hanya beberapa bulan, kembali lagi anggota kehilangan pekerjaan,” ujar Romlawati.
Kendati demikian, Rahma tidak menyerah, dia memanfaatkan bantuan Yayasan Pekka untuk membeli peralatan dan mengelola usaha ”Salome”. Mereka kemudian mengelola bank sampah dan mengumpulkan minyak jelantah dan mengolah menjadi sabun cuci. Awalnya bank sampah melayani di satu rukun tetangga (RT) sekarang telah menjangkau enam desa yang melibatkan anggota Pekka, tetangga dan remaja.
Penguatan ekonomi melalui koperasi pun hingga kini berjalan. Pekka-Mart, yang merupakan usaha grosir yang menjual produk dan kebutuhan harian dari anggota Pekka dan masyarakat, menjadi kekuatan ekonomi. Bahkan, tidak hanya di NTB, di daerah-daerah yang menjadi wilayah pendampingan Pekka pun, Pekka-Mart dan Pekka Produksi (usaha pangan, sandang, dan produksi kerajinan lokal) menjadi andalan para perempuan-perempuan di daerah sehingga mereka bisa bertahan di masa krisis.
Hingga Desember 2021 telah tumbuh 17 Pekka Produksi di 19 kabupaten/kota di 65 desa dengan modal dana yang dikelola Rp 152.590.000. Selain itu, 34 Pekka-Mart di 27 kabupaten dengan modal Rp 498.742.000. Selain itu, Pekka juga memiliki Koperasi Primer (75), Sekunder (13), dan berbadan hukum (19).
Baca juga: Perempuan Terdampak secara Psikis dan Fisik Saat Pandemi
Upaya memberdayakan perempuan juga dilakukan EMPU sebagai komunitas mode yang lahir dari festival pada tahun 2020 di Semarang. Di awal masa pandemi, EMPU memproduksi masker yang dibagikan kepada kelompok marginal (nelayan, petani, penyandang disabilitas). EMPU juga memproduksi alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan di puskesmas di wilayah terluar Indonesia.
Pandemi merontokkan seni ekonomi, termasuk industri kreatif yang melestarikan keberlanjutan ramah lingkungan. ”Bahan baku, produksi pasar, dan daya beli khususnya industri kreatif menurun, tidak berkelanjutan. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat membuat banyak usaha kawan-kawan tutup,” papar Leya Cattleya, Pendiri EMPU.
Kondisi tersebut mendorong komunitas EMPU mendampingi para perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, seperti petenun, pembatik, dan pembuat/penjual jamu gendong (terutama yang merantau). Mereka juga mendampingi perempuan perajin membuat pembalut bagi perempuan penyandang disabilitas di panti-panti. Saat ini ada 38 usaha kecil menengah di bidang mode dan 250 penjual jamu gendong, yang tergabung dalam Komunitas EMPU.
Peran signifikan
Keterlibatan perempuan pada sektor informal, dalam pandangan Ikhaputri Widiantini, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia, menunjukkan peran yang signifikan dalam pemberdayaan perekonomian di masa pandemi.
Namun, perempuan (terutama perempuan pekerja) menghadapi tantangan tersendiri di masa pandemi, bahkan terus mengalami ketidakadilan jender. Melekatnya pekerjaan domestik membuat para ibu yang bekerja tidak bisa sepenuhnya fokus pada kesibukan pekerjaannya, melainkan memaksanya untuk bisa melakukan pekerjaan berlapis-lapis.
”Ketika menjalankan multitasking, fokus akan terpecah dan dapat berdampak panjang pada kondisi psikologis. Ibu bekerja lebih rentan mengalami konflik pekerjaan dan keluarga karena seorang ibu diposisikan untuk tetap bisa mengurus anak, suami, dan rumah tangga bersamaan dengan kewajiban,” papar Ika.
Beban ganda dan berlapis perempuan ini langgeng karena dipengaruhi oleh konstruksi peran jender yang memandang bahwa laki-laki tempatnya di ruang publik dan perempuan di ruang domestik. Adanya pola pikir yang membuat perempuan dibiasakan harus selalu ”membahagiakan” orang lain, ketimbang memperhatikan dirinya sendiri.
Perempuan bahkan dibuat percaya bahwa mereka dibutuhkan di rumah sehingga ketika bekerja di luar rumah pun, tetap harus ”bertanggung jawab penuh” atas urusan domestik. Konstruksi peran jender tersebut menjadikan perempuan rentan mengalami diskriminasi dalam masyarakat.
Baca juga: Ketangguhan Perempuan Diuji Selama Pandemi
Untuk melepaskan perempuan dari situasi ketidakadilan jender, perlu ada perubahan yang dimulai dari cara pandang masyarakat yang menjadikan pengetahuan berbasis pengalaman perempuan, sebagai subyek pengetahuan.
Selain itu, perlu dibangun kesepakatan yang setara dalam keluarga, untuk mengubah perilaku dalam pembagian tugas domestik di rumah, yang menempatkan laki-laki (suami) juga harus mendapatkan porsi dalam mengurus rumah dan anak. Sudah saatnya membangun paradigma baru, bahwa mengurus rumah tidak hanya menjadi tanggung jawab dan urusan ibu semata.
Kesetaraan jender
Pandemi Covid-19 memang memberikan dampak besar bagi upaya mewujudkan kesetaraan jender. Indeks Gender SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) 2022 yang menilai 14 tujuan dan 56 target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di 144 negara yang dikembangkan oleh Equal Measures 2030 menemukan bahwa kurang dari seperempat negara di dunia yang mengalami kemajuan ”pesat” menuju kesetaraan jender.
Posisi Indonesia, kendati sejak tahun 2005 mengalami ”kemajuan pesat” pada beberapa tujuan, seperti mendorong inovasi sebagaimana dalam Tujuan 9 karena kaum perempuan semakin banyak menggunakan layanan perbankan digital serta akses mereka yang lebih luas terhadap internet, untuk beberapa tujuan Indonesia mengalami ketertinggalan. ”Misalnya, pada Tujuan 5 tentang kesetaraan jender, Indonesia berada di peringkat ke-115 di dunia,” ujar Direktur Kapal Perempuan, Misiyah.
Deputi Bidang Kesetaraan Jender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosalin dalam kegiatan Ministerial Lecture ”Presidensi G20 Indonesia: Peningkatan Ketahanan Kesehatan Keluarga dan Penguatan Peran Gender Berbudaya” pada Rabu (27/4/2022) lalu juga mengungkapkan laporan Global Gender Gap Index 2021 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia Tahun 2021.
Dari laporan tersebut, Indonesia memiliki skor 0,688 untuk kesenjangan jender secara keseluruhan dengan peringkat 101 secara global. Indikator yang diukur di antaranya ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan politik, dengan poin capaian pada pemberdayaan politik yang paling rendah.
”Kesetaraan jender menentukan kemajuan bangsa di masa kini dan masa depan. Kalau laki-laki dan perempuan tidak setara, bagaimana kita mau mencapai pembangunan yang optimal tidak hanya pembangunan yang maksimal. Oleh karena itu, pengarusutamaan jender menjadi strategi yang ditawarkan,” kata Lenny.