Penelitian Sejarah Diponegoro Berawal dari Koneksi Batin
Penelitian sejarah yang panjang dan detail tentang Pangeran Diponegoro dimulai dari sebuah kontak batin seusai melihat sebuah sketsa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Sejarawan Inggris, Peter Carey, telah meneliti sejarah soal Pangeran Diponegoro sejak 1970-an. Salah satu buku tulisannya berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 menjadi rujukan publik untuk mempelajari sosok pahlawan nasional tersebut.
Dorongan meneliti Pangeran Diponegoro muncul saat Carey belajar di Cornell University, Amerika Serikat. Ia melihat sketsa yang dibuat Mayor de Stuers di buku karya sejarawan HJ de Graaf.
”Saya punya semacam kontak batin dengan pemuda, Diponegoro itu,” kata Carey pada acara bincang buku Urip Iku Urub secara daring, Sabtu (30/4/2022). Kegiatan ini sekaligus untuk merayakan ulang tahun Carey yang ke-74.
Kontak batin itu berlanjut ke penelitian demi penelitian mengenai Diponegoro. Sosok Diponegoro tidak bisa dipisahkan dengan Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830, salah satu perang terbesar di Tanah Air. Adapun Perang Jawa merupakan salah satu buntut dari Revolusi Perancis, isu yang Carey pelajari di kampus.
Demi mempelajari sosok Diponegoro, Carey datang ke Indonesia, lalu mempelajari arsip-arsip di gedung Arsip Nasional selama dua tahun. Ia juga mendatangi situs-situs yang berhubungan dengan subyek penelitiannya, antara lain Goa Selarong di Yogyakarta dan reruntuhan kediaman Diponegoro. Ia menambahkan, perjalanan risetnya tidak lepas dari pengalaman spiritual.
Kisah Diponegoro dalam bentuk lukisan juga dipelajari. Ada dua lukisan legendaris mengenai Diponegoro. Keduanya dilukis oleh pelukis yang berbeda. Lukisan pertama oleh seniman Belanda, Nicolaas Pieneman, yang berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro (1835). Lukisan kedua dibuat seniman Indonesia Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857).
Kedua lukisan menampilkan perspektif yang sama sekali berbeda. Lukisan Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan gestur penyerahan diri. Diponegoro pun dibuat berdiri di tangga bagian bawah, tak sejajar dengan tokoh lain di lukisan yang berdiri di puncak tangga, Letnan Gubernur Jenderal HM Baron de Cock. Di lukisan itu juga ada bendera Belanda yang berkibar.
Sosok Diponegoro tidak bisa dipisahkan dengan Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830, salah satu perang terbesar di Tanah Air.
Sementara itu, lukisan Raden Saleh menggambarkan bahwa Diponegoro ditangkap, bukan menyerahkan diri ke Belanda saat Perang Jawa. Lukisan itu tidak ada bendera Belanda berkibar. Sosok De Cock dan pasukannya juga digambarkan berkepala besar, tidak sesuai dengan proporsi tubuh.
Babad Diponegoro
Diponegoro ditangkap Belanda pada 1830 di Magelang kemudian dibawa ke Ungaran, Jawa Tengah. Ia lantas dibawa lagi ke Batavia dan ditahan selama 26 hari di Gedung Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta).
Dari Batavia, Diponegoro dibawa lagi ke Manado, Sulawesi Utara, dan diasingkan di sana selama tiga tahun pada tahun 1830-1833. Ia kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar, dan diasingkan pada 1833 hingga wafat pada tahun 1855.
”Pemerintah Hindia Belanda khawatir ada pergerakan orang pribumi Jawa dan pendukung (Diponegoro). Itu sebabnya mereka memindahkan Diponegoro. Menurut isu, awalnya Diponegoro mau dipindahkan ke Ternate. Tapi, ia dibawa ke Makassar secara rahasia,” kata pemandu di Benteng Rotterdam, Kamaruddin (Kompas.id, 9/1/2022).
Selama pengasingan itu, Diponegoro menulis catatan sebanyak 1.151 halaman yang lantas disebut Babad Diponegoro. Carey mengatakan, catatan itu dibuat dengan bantuan juru tulis. Adapun Babad Diponegoro diakui sebagai Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World) yang diakui UNESCO pada 2013.
Menurut Carey, pendidikan sejarah perlu disertai dengan membaca literatur lain, termasuk sastra, babad, hingga hikayat. Ini karena sastra mampu menceritakan kompleksitas sejarah dan tokoh-tokoh di luar pusaran sejarah. Sastra juga mampu memotret kompleksitas emosi dan pemikiran manusia yang terlibat di sejarah.
”Kita akan pincang tanpa itu. Kita akan kesulitan menulis sejarah. Padahal, sejarawan juga adalah seorang sastrawan. Literatur seperti ini adalah landasan kuat untuk memahami sejarah,” kata Carey.