Pandemi, Momentum Mengubah Pandangan Ketidakadilan Jender
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari dua tahun menempatkan perempuan pada situasi sulit. Kendati demikian, perempuan tampil berperan dalam pemberdayaan ekonomi baik untuk keluarga maupun komunitas.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian keluarga memberikan beban ganda pada perempuan. Hal ini karena perempuan dituntut berperan utama di wilayah domestik dan sekaligus menjadi penopang ekonomi keluarga. Bahkan, sejumlah perempuan hadir menjadi penyelamat dan tulang punggung perekonomian keluarga selama pandemi.
Pengalaman dan peran penting perempuan dalam perekonomian keluarga selama pandemi hendaknya menjadi momentum untuk mendobrak praktik ketidakadilan jender dan budaya patriarki di tengah masyarakat yang merugikan perempuan. Sudah saatnya mengubah cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus membahagiakan orang lain dan bertanggung jawab penuh atas urusan domestik.
Hal ini mengemuka dalam dialog interaktif Smart Talks bertajuk ”Peringatan Hari Kartini: Merayakan Emansipasi Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Dalam Situasi Pandemik Covid-19” yang digelar Jurnal Perempuan bersama Plan Indonesia, Selasa (26/4/2022), secara daring. Dialog diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kartini 2022 sekaligus refleksi terhadap kondisi perempuan setelah dua tahun pandemi Covid-19.
”Di tengah krisis, bukan berarti perempuan putus asa. Ada banyak kreativitas yang dimunculkan perempuan. Jadi perempuan berupaya menjaga kestabilan perekonomian keluarga. Salah satunya adalah dengan masuk ke sektor informal, terutama pada industri rumahan,” ujar Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat di Universitas Indonesia.
Perempuan dipaksa multitasking dan berdampak psikologis yang besar pada perempuan.
Ikhaputri mengutip laporan Kementerian Keuangan yang mencatat 93 persen pelaku ekonomi di sektor informal adalah perempuan dan data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa dari total pengusaha sektor industri kecil dan menengah, 47,64 persen dijalankan oleh perempuan.
”Banyaknya keterlibatan perempuan pada sektor informal menunjukkan peran yang signifikan dalam pemberdayaan perekonomian di masa pandemi. Ibu-ibu lebih cepat masuk pada industri makanan karena lebih mudah. Seperti penjualan makanan daring. Tetapi pikirannya untuk memberdayakan perekonomian rumah. Yang dipikirkan apa yang cepat bisa dilakukan,” ujar Ikhaputri.
Namun, perhatian khusus perempuan tidak hanya pada pengembangan minat dan motivasi pribadi, juga sering kali fokus pada kesejahteraan keluarga. Artinya, hanya mendukung perekonomian keluarga bukan menjadi produsen aktif.
Beban psikologis
Di sisi lain, ketika perempuan muncul menjadi penstabil perekonomian dan kehidupan keluarga di era pandemi, perempuan menghadapi berbagai persoalan. Hal itu terlihat, saat ada kebijakan bekerja dari rumah, perempuan justru semakin dibebani tanggung jawab besar.
”Apakah kerja dari rumah menguntungkan perempuan? Ternyata tidak. Karena salah satu contoh nyata beban ganda perempuan. Anak sekolah dari rumah, suami juga bekerja dari rumah, perempuan juga bekerja dari rumah, tetapi perempuan harus ikut juga sekolah, menyiapkan makanan agar suaminya bisa kerja dari rumah. Banyak yang dalam situasi demikian,” kata Ikhaputri.
Perempuan dipaksa multitasking dan berdampak psikologis yang besar pada perempuan. Kondisi ini dialami hampir semua kelas perempuan, terutama perempuan miskin ketika perempuan diposisikan bertanggung jawab pada urusan domestik.
Karena itu, pengalaman perempuan harus ditempatkan sebagai subyek dalam pengetahuan. Pengetahuan berbasis pengalaman perempuan berperan penting dalam transformasi sehingga perempuan bisa keluar dari belenggu pola pikir patriarki. Selama ini konstruksi budaya menempatkan perempuan harus selalu membahagiakan orang lain, ketimbang dirinya, dan perempuan harus bertanggung jawab atas domestik.
Pada masa pandemi, perempuan mengalami berbagai kekerasan baik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan di wilayah publik.
Selain Ikhaputri, acara ini dibuka oleh Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia, dan juga menghadirkan Leya Cattleya (pendiri EMPU-Komunitas Fesyen) dan Romlawati (Co-Director Perempuan Kepala Keluarga/Pekka) sebagai pembicara.
Dini mengungkapkan, perempuan berkontribusi besar terhadap pemberdayaan ekonomi walaupun dihadang dengan beban ganda dan guncangan pandemi. Bahkan, perempuan memiliki kemampuan bertahan dari krisis untuk diri dan keluarganya.
Perempuan kepala keluarga
Adapun Romlawati dalam materinya memulai dengan kisah Rahma, kader Pekka di Bima, Nusa Tenggara Barat. Rahma dengan tiga anaknya sebelum pandemi berjualan pakaian dan beras, menjadi guru pendidikan anak usia dini (PAUD), serta membuat kue bersama kelompok Pekka, dan mengelola dana simpan pinjam. Namun, saat pandemi kondisinya berubah, dan sejumlah anggota Pekka terpaksa menjadi buruh tani di luar kampungnya.
Melihat kondisi itu, Rahma mendekati pemerintah desa yang kemudian memesan masker dari Pekka. Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Belakangan Rahma dan ibu-ibu Pekka menjual makanan. Selain itu, mereka juga mendirikan bank sampah, mengumpulkan minyak jelantah dan diolah menjadi sabun cuci. Awalnya bank sampah hanya di satu rukun tetangga, tetapi kemudian berkembang sampai di enam desa.
Pada tingkat nasional, Pekka mengorganisasi anggotanya melalui gerakan koperasi simpan pinjam serta gerakan membeli dan cinta produk lokal, seperti tenun dan kerajinan, sehingga mendukung anggotanya mengembangkan usahanya.
Leya Cattleya juga mengenalkan bagaimana upaya yang dilakukan EMPU sebagai komunitas fashion yang lahir dari festival pada tahun 2020. Pada awal pandemi, EMPU memproduksi masker yang dibagikan kepada kelompok marjinal (nelayan, petani, dan disabilitas).
Gerakan tersebut berkembang ketika EMPU memproduksi alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan di puskesmas di wilayah terluar Indonesia. ”Dengan dukungan berbagai pihak, kelompok perempuan, kita bisa berikan dukungan pada 101 puskesmas,” ujar Leya.